Senin, 27 Juni 2016

MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA





MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA
Tugas Kelompok
Mata Kuliah : Pengantar Hukum Bisnis
Dosen : Achmad Luthfi Prawirayudha
Disusun Oleh :
Kelompok 2 Materi 5
                                1.ALDI                                     NIM                                                                                                                                                       
                                2.KEREN                                 NIM           
                                3.MILA                                     NIM                      
                                4.WITRIYAH                            NIM
                                5.SARIMAULI PRANSISCA    NIM 2014122236
                                6.TRIYANA FEBRI                  NIM

Kelas 02 SAKEF Akuntansi C.222
FAKULTAS EKONOMI
PROGRAM STUDI EKONOMI AKUNTANSI
UNIVERSITAS PAMULANG
2015



KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.


Alhamdulillahirabbilalamin, banyak nikmat yang Allah berikan, tetapi sedikit sekali yang kita ingat. Segala puji hanya layak untuk Allah Tuhan serta sekalian alam atas segala berkat, rahmat, taufik, serta hidayah-Nya yang tiada terkira besarnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah dengan judul “Monopoli dan Persaingan Usaha ”.Dalam penyusunannya, penulis memperoleh banyak bantuan dari berbagai pihak, karena itu penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: Kedua orang tua dan segenap keluarga besar penulis yang telah memberikan dukungan, kasih, dan kepercayaan yang begitu besar. Dari sanalah semua kesuksesan ini berawal, semoga semua ini bisa memberikan sedikit kebahagiaan dan menuntun pada langkah yang lebih baik lagi. Meskipun penulis berharap isi dari makalah ini bebas dari kekurangan dan kesalahan, namun selalu ada yang kurang. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang dapat membangun lebih baik lagi.  Akhir kata penulis berharap agar makalah ini bermanfaat bagi semua pembaca.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Pamulang, April  2015

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL…………………………………………………………………..i

KATA PENGANTAR………………………………………………………………...ii

DAFTAR ISI…………………………………………………………………………iii

BAB I      PENDAHULUAN
A.   Latar Belakang dan Masalah…………………….....………………1
B.   Rumusan Masalah………………...…………………………………2
C.   Tujuan Penelitian…………….…...………………………………….2

BAB II     PEMBAHASAN…………………………………………………………..3

BAB III    ANALISIS KASUS DAN KESIMPULAN……………………………...28

BAB IV    KESIMPULAN…………………………………………………………..53


DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………….54







iii
BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

                        Pasar sebagai kumpulan jumlah pembeli dan penjual individual mempunyai karakteristik-karakteristik tertentu. Karakteristik tersebut muncul karena masing-masing individu pembeli dan penjual mempunyai  perilaku individual yang berbeda pula. Di dalam biaya produksi terdapat karakteristik pasar tertentu dimana dalam pasar tersebut hanya terdapat satu penjual dari satu produk (barang atau jasa) yang tidak mempunyai alternatif produk pengganti (substitusi). Pasar dengan karakteristik tersebut disebut dengan pasar monopoli. Mengingat dalam pasar monopoli hanya terdapat satu penjual dari satu produk (barang atau jasa) yang tidak mempunyai alternatif produk pengganti (subtitusi) maka dalam pasar monopoli tidak ada persaingan dari penjual lain. Dalam kehidupan perekonomian yang faktual, sangat jarang mendapat  penjual yang tidak menghadapi persaingan dari penjual lain. Meskipun dalam suatu pasar misalnya hanya terdapat satu penjual sehingga tidak ada persaingan secara langsung dari penjual lain, tetapi penjual tunggal tersebut akan menghadapi  persaingan secara tidak langsung dari penjual lain yang menghasilkan produk yang dapat merupakan alternatif produk pengganti yang tidak sempurna.
1
2
B. Rumusan Masalah
     Berdasarkan   latar  belakang  permasalahan di atas,  rumusan  masalah  penelitian  ini adalah sebagai berikut:
1.Bagaimana perkembangan persaingan usaha di Indonesia ?
2.Bangaimana sanksi dalam antimonopoli dan persaingan usaha ?
3.Jelaskan pengertian pasar monopoli ?
4.Jelaskan asas dan tujuan pasar monopoli ?
5.Bagaimana Undang-undang tentang monopoli ?
6.Jelaskan pengertian Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU) ?
7.Jelaskan kegiatan yang dilarang dan perjanjian yang dilarang ?
8.Jelaskan jenis-jenis monopoli dan ciri – ciri pasar monopoli ?

C. Tujuan Penelitian

a.    Tujuan  Penelitian

           1. Untuk      menganalisis       monopoli      dan      persaingan    usaha.
           2. Untuk    menganalisis    monopoli    terhadap    persaingan   usaha.
           3. Untuk  mengetahui  kegiatan  yang   dilarang   dan   perjanjian  yang  
               dilarang.
           4. Untuk  mengetahui  asas  dan  tujuan  pasar  monopoli.
           5. Untuk  mengetahui  perkembangan  persaingan usaha di Indonesia.
          

BAB II
PEMBAHASAN
1.    Pengertian


Pasar Monopoli adalah suatu bentuk pasar di mana hanya terdapat satu penjual yang menguasai pasar. Penentu harga pada pasar ini adalah seorang penjual atau sering disebut sebagai "monopolis". Sebagai penentu harga (price-maker), seorang monopolis dapat menaikan atau mengurangi harga dengan cara menentukan jumlah barang yang akan diproduksi, semakin sedikit barang yang diproduksi, semakin mahal harga barang tersebut, begitu pula sebaliknya. Walaupun demikian, penjual juga memiliki suatu keterbatasan dalam penetapan harga. Apabila penetapan harga terlalu mahal, maka orang akan menunda pembelian atau berusaha mencari atau membuat barang subtitusi (pengganti) produk tersebut.


2. Asas dan Tujuan
Asas
Pelaku  usaha  di Indonesia   dalam  menjalankan   kegiatan  usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum.



3
4

Tujuan
Undang-Undang (UU)  persaingan  usaha  adalah  Undang-undang  No. 5 Tahun  1999  tentang  Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak  Sehat  (UU No.5/1999) yang   bertujuan   untuk  memelihara  pasar kompetitif  dari  pengaruh  kesepakatan  dan  konspirasi yang cenderung mengurangi  dan  atau menghilangkan persaingan. Kepedulian utama dari UU  persaingan  usaha  adalah  promoting  competition  dan  memperkuat kedaulatan konsumen.

     3. Kegiatan yang Dilarang
     Dalam  UU No.5/1999,kegiatan  yang   dilarang   diatur  dalam   pasal   17    
     sampai  dengan  pasal 24.Undang  undang  ini  tidak memberikan defenisi  
     kegiatan,seperti  halnya  perjanjian. Namun demikian, dari  kata “kegiatan”  
     kita dapat  menyimpulkan  bahwa  yang dimaksud  dengan  kegiatan disini
     adalah  aktivitas, tindakan   secara  sepihak. Bila  dalam   perjanjian   yang
     dilarang  merupakan  perbuatan  hukum  dua  pihak  maka dalam kegiatan
     yang  dilarang  adalah  merupakan  perbuatan  hukum  sepihak.




5

     Adapun kegiatan kegiatan yang dilarang tersebut yaitu :
1. Monopoli
Adalah penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha

2. Monopsoni
Adalah situasi pasar dimana hanya
 ada  satu  pelaku  usaha  atau  kelompok pelaku  usaha  yang  menguasai  pangsa  pasar  yang  besar  yang bertindak sebagai  pembeli  tunggal,sementara  pelaku  usaha  atau  kelompok  pelaku usaha yang bertindak sebagai penjual jumlahnya banyak.

3. Penguasaan pasar
Di
 dalam UU no.5/1999 Pasal 19,bahwa  kegiatan  yang  dilarang  dilakukan pelaku  usaha  yang   dapat   mengakibatkan   terjadinya  penguasaan  pasar yang merupakan praktik monopoli  atau  persaingan usaha tidak  sehat yaitu :
a. menolak
 dan  atau  menghalangi  pelaku  usaha tertentu untuk melakukan  
    kegiatan usaha yang sama pada pasar yang bersangkutan;



6

b. menghalangi
 konsumen  atau  pelanggan  pelaku usaha pesaingnya untuk  
    tidak  melakukan  hubungan  usaha  dengan   pelaku   usaha   pesaingnya;
c. membatasi
 peredaran  dan  atau  penjualan  barang  dan  atau  jasa  pada    
    pasar bersangkutan;
d. melakukan praktik diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu.

4. Persekongkolan
Adalah
   bentuk   kerjasama   yang   dilakukan   oleh   pelaku  usaha   dengan  pelaku     usaha      lain     dengan      maksud      untuk     menguasai    pasar   bersangkutan    bagi   kepentingan      pelaku    usaha     yang    bersekongkol   (pasal  1  angka  8  UU  No.5/1999).

5. Posisi Dominan
Artinya
 pengaruhnya  sangat  kuat, dalam  Pasal 1 angka  4 Undang-Undang Nomor  5   Tahun  1999  menyebutkan   posisi   dominan   merupakan   suatu keadaan  dimana   pelaku   usaha   tidak   mempunyai   pesaing  yang  berarti  
di pasar  bersangkutan  dalam  kaitan  dengan  bangsa   yang   dikuasai  atau pelaku   usaha   mempunyai   posisi  tertinggi  diantara  pesaingnya  di  pasar bersangkutan  dalam   kaitan  dengan   kemampuan  keuangan,  kemampuan akses  pada   pasokan, penjualan,  serta   kemampuan  untuk  menyesuaikan pasokan dan permintaan barang atau jasa tertentu.
7

6. Jabatan Rangkap
Dalam
 Pasal  26  Undang-Undang  Nomor  5  Tahun 1999  dikatakan  bahwa seorang  yang  menduduki  jabatan  sebagai direksi atau komisaris dari suatu perusahaan, pada  waktu   yang   bersamaan   dilarang   merangkap  menjadi direksi atau komisaris pada perusahaan lain.

7. Pemilikan Saham
Berdasarkan
 Pasal  27 Undang - Undang  Nomor  5  Tahun  1999  dikatakan bahwa  pelaku   usaha  dilarang  memiliki  saham  mayoritas  pada  beberapa perusahaan sejenis, melakukan  kegiatan  usaha  dalam  bidang  sama  pada saat  bersangkutan  yang  sama  atau mendirikan beberapa perusahaan yang sama.

8. Penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan
Dalam
 Pasal 28  Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, mengatakan bahwa pelaku usaha  yang  berbadan  hukum  maupun yang bukan berbadan hukum yang  menjalankan  perusahaan  bersifat  tetap  dan  terus  menerus  dengan tujuan mencari keuntungan.



8
4. Perjanjian yang Dilarang
    1. Oligopoli
    Adalah    keadaan     pasar    dengan    produsen    dan    pembeli    barang   
    hanya    berjumlah    sedikit,    sehingga    mereka     atau     seorang    dari    
    mereka  dapat  mempengaruhi   harga  pasar.
    2. Penetapan harga
    Dalam   rangka   penetralisasi   pasar,  pelaku   usaha   dilarang   membuat   
    perjanjian, antara lain :
    a. Perjanjian dengan  pelaku usaha  pesaingnya  untuk menetapkan  harga  
        atas  barang  dan  atau  jasa  yang  harus  dibayar  oleh  konsumen atau  
        pelanggan  pada  pasar  bersangkutan  yang  sama ;
    b. Perjanjian yang mengakibatkan pembeli  yang  harus membayar dengan  
        harga yang  berbeda  dari  harga  yang  harus  dibayar oleh pembeli lain  
        untuk barang dan atau jasa yang sama ;
    c. Perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga di  
        bawah harga pasar ;
    d. Perjanjian dengan  pelaku usaha lain yang  memuat  persyaratan bahwa  
        penerima barang dan atau jasa  tidak  menjual  atau  memasok  kembali  
        barang  dan  atau  jasa  yang  diterimanya  dengan  harga  lebih  rendah  
        daripada harga yang telah dijanjikan.


9

3. Pembagian wilayah
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang   bertujuan   untuk   membagi   wilayah  pemasaran  atau  alokasi  pasar terhadap barang dan atau jasa.
4. Pemboikotan
Pelaku
 usaha  dilarang  untuk  membuat  perjanjian   dengan   pelaku  usaha pesaingnya  yang  dapat  menghalangi  pelaku usaha  lain  untuk  melakukan usaha yang sama, baik untuk tujuan  pasar  dalam  negeri maupun pasar luar negeri.
5. Kartel
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur
 produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa.
6. Trust
Pelaku usaha dilarang membuat
 perjanjian  dengan  pelaku usaha lain untuk melakukan  kerja  sama   dengan   membentuk   gabungan  perusahaan  atau perseroan  yang  lebih besar, dengan  tetap  menjaga  dan  mempertahankan kelangsungan  hidup tiap-tiap perusahaan  atau  perseroan anggotanya, yang bertujuan untuk mengontrol produksi dan  atau  pemasaran  atas  barang dan atau jasa.

10

7. Oligopsoni
Keadaan
 dimana  dua  atau   lebih   pelaku   usaha   menguasai  penerimaan pasokan atau  menjadi  pembeli  tunggal  atas  barang  dan/atau  jasa  dalam suatu pasar komoditas.
8. Integrasi vertikal
Pelaku
 usaha  dilarang  membuat  perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan  untuk  menguasai  produksi sejumlah produk yang termasuk dalam rangkaian   produksi   barang   dan   atau   jasa   tertentu   yang  mana  setiap rangkaian  produksi merupakan  hasil  pengelolaan  atau proses lanjutan baik dalam satu rangkaian langsung maupun tidak langsung.
9. Perjanjian tertutup
Pelaku
 usaha  dilarang  membuat   perjanjian    dengan   pelaku   usaha  lain yang memuat  persyaratan  bahwa  pihak  yang  menerima barang  dan  atau jasa hanya  akan  memasok  atau  tidak  memasok  kembali  barang dan atau jasa tersebut kepada pihak tertentu dan atau pada tempat tertentu.
10. Perjanjian dengan pihak luar negeri
Pelaku
 usaha  dilarang  membuat  perjanjian  dengan pihak luar negeri  yang memuat  ketentuan  yang  dapat  mengakibatkan  terjadinya  praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.


11

5. Komisi Pengawasan Persaingan Usaha
Komisi
  Pengawas    Persaingan   Usaha (KPPU)   adalah  sebuah   lembaga independen  di Indonesia  yang  dibentuk  untuk  memenuhi amanat Undang-Undang no. 5 tahun 1999 tentang larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.

6. Sanksi dalam Antimonopoli dan Persaingan Usaha
Pasal 36 UU Anti Monopoli, salah satu wewenang
 KPPU  adalah  melakukan penelitian, penyelidikan  dan menyimpulkan hasil  penyelidikan mengenai ada tidaknya  praktik  monopoli  dan  atau persaingan usaha tidak sehat. Masih di pasal yang sama, KPPU  juga  berwenang  menjatuhkan  sanksi  administratif kepada  pelaku  usaha  yang  melanggar  UU  Anti  Monopoli. Apa  saja  yang termasuk dalam  sanksi  administratif  diatur  dalam Pasal 47 Ayat (2) UU Anti Monopoli. Meski  KPPU  hanya  diberikan  kewenangan  menjatuhkan  sanksi administratif, UU  Anti   Monopoli  juga  mengatur   mengenai  sanksi  pidana. Pasal   48    menyebutkan    mengenai    pidana    pokok. Sementara   pidana tambahan dijelaskan dalam Pasal 49.




12

Pasal 48
(1) Pelanggaran terhadap
 ketentuan Pasal 4, Pasal 9 sampai  dengan  Pasal 14, Pasal  16   sampai   dengan   Pasal 19, Pasal 25, Pasal 27, dan  Pasal 28 diancam  pidana  denda  serendah-rendahnya  Rp25.000.000.000 (dua puluh lima miliar rupiah)  dan  setinggi-tingginya Rp100.000.000.000  (seratus miliar rupiah), atau  pidana  kurungan  pengganti  denda  selama-lamanya 6 (enam) bulan.

(2) Pelanggaran
 terhadap  ketentuan  Pasal 5 sampai dengan Pasal 8, Pasal 15, Pasal 20  sampai  dengan  Pasal 24, dan  Pasal  26  Undang-Undang  ini diancam  pidana  denda  serendah-rendahnya  Rp5.000.000.000  ( lima miliar rupiah)   dan   setinggi-tingginya  Rp25.000.000.000  (dua   puluh  lima  miliar rupiah), atau  pidana  kurungan  pengganti  denda  selama-lamanya  5  (lima) bulan.

(3) Pelanggaran
 terhadap  ketentuan  Pasal  41 Undang-undang  ini diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp1.000.000.000 (satu  miliar rupiah) dan setinggi-tingginya    Rp5.000.000.000    (lima    miliar   rupiah),  atau    pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 3 (tiga) bulan.


13

Pasal 49
Dengan menunjuk ketentuan  Pasal 10 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, terhadap pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 48 dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa:
a. pencabutan izin usaha
b. larangan kepada pelaku usaha yang telah terbukti melakukan pelanggaran
 
    terhadap undang-undang    ini   untuk   menduduki    jabatan   direksi   atau
    komisaris  sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan selama-lamanya 5 (lima)
    tahun; atau
c. penghentian kegiatan atau tindakan tertentu yang menyebabkan timbulnva
    kerugian pada pihak lain.
Aturan  ketentuan pidana  di dalam UU  Anti  Monopoli menjadi aneh lantaran tidak   menyebutkan   secara    tegas   siapa    yang   berwenang   melakukan penyelidikan atau penyidikan dalam konteks pidana.
http://fachmiputrir.blogspot.com/2014/05/makalah-anti-monopoli-dan-persaingan.html diakses  pada  tanggal  30  Maret 2015 pukul 11.13 WIB





14
JENIS MONOPOLI
Ada  dua  macam  monopoli  yaitu  monopoli alamiah dan yang kedua adalah monopoli  artifisial. Monopoli  alamiah  lahir  karena  mekanisme  murni dalam pasar.  Monopoli  ini  lahir  secara  wajar  dan  alamiah karena kondisi objektif yang  dimiliki  oleh  suatu  perusahaan, yang   menyebabkan  perusahaan  ini unggul  dalam  pasar  tanpa bisa  ditandingi  dan dikalahkan secara memadai oleh perusahaan lain. Dalam jenis monopoli ini, sesungguhnya pasar  bersifat terbuka. Karena itu, perusahaan ain sesungguhnya bebas masuk dalam jenis industri yang sama. Hanya saja, perusahaan  lain  tidak  mampu  menandingi perusahaan  monopolistis  tadi  sehingga  perusahaan yang unggul tadi relatif menguasasi pasar dalam jenis industri tersebut.
Yang  menjadi  masalah adalah  jenis  monopoli  yang  kedua, yaitu monopoli artifisial. Monopoli  ini  lahir  karena  persekongkolan  atau  kolusi  politis  dan ekonomi  antara  pengusaha  dan  penguasa  demi   melindungi  kepentingan kelompok  pengusaha  tersebut.  Monopoli   semacam   ini  bisa  lahir  karena pertimbangan  rasional  maupun  irasional. Pertimbangan  rasional  misalnya demi  melindungi  industri industri dalam negeri, demi memenuhi economic of scale, dan  seterusnya.  Pertimbangan   yang   irasional   bisa  sangat  pribadi sifatnya dan bisa  dari  yang  samar-samar  dan  besar  muatan  ideologisnya sampai pada yang kasar dan terang-terangan. Monopoli ini merupakan  suatu rekayasa sadar yang  pada  akhirnya  akan  menguntungkan  kelompok  yang
15
mendapat   monopoli  dan   merugikan   kepentingan   kelompok  lain, bahkan kepentingan mayoritas masyarakat.
CIRI – CIRI PASAR MONOPOLI
Ciri-ciri  dari  pasar  monopol i adalah  sebagai  berikut:
  1. Pasar monopoli adalah industri satu perusahaan
Dari   definisi   monopoli    telah   diketahui    bahwa    hanya   ada   satu  saja  perusahaan  dalam    industri  tersebut. Dengan  demikian  barang  atau  jasa  yang  dihasilkannya  tidak  dapat  dibeli  dari  tempat  lain. Para pembeli tidak mempunyai  pilihan  lain, kalau  mereka  menginginkan barang tersebut maka mereka  harus  membeli  dari   perusahaan  monopoli  tersebut. Syarat-syarat penjualan   sepenuhnya   ditentukan   oleh   perusahaan   monopoli   itu,  dan konsumen  tidak  dapat  berbuat  suatu  apapun  didalam  menentukan syarat jual beli.
  1. Tidak mempunyai barang pengganti yang mirip
Barang yang dihasilkan  perusahaan  monopoli  tidak  dapat  digantikann oleh barag lain yang ada didalam pasar. Barang-barang tersebut merupakan satu-satunya  jenis  barang  yang  seperti  itu dan tidak terdapat barang mirip yang dapat menggantikan.

16
  1. Tidak terdapat kemungkinan untuk masuk kedalam industri
Sifat  ini   merupakan  sebab  utama  yang   menimbulkan   perusahaan  yang mempunyai  kekuasaan  monopoli. Keuntungan  perusahaan  monopoli  tidak akan menyebabkan perusahaan-perusahaan lain memasuki industri tersebut.
  1. Dapat mempengaruhi penentuan harga
Perusahaan monopoli merupakan  satu-satunya penjual didalam pasar, maka penentuan  harga dapat dikuasainya. Oleh  sebab  itu  perusahaan  monopoli dipandang sebagai penentu harga.
  1. Promosi iklan kurang diperlukan
Oleh karena perusahaan  monopoli adalah satu-satunya perusahaan didalam industri, ia  tidak  perlu  mempromosikan  barangnya  dengan  menggunakan iklan. Walau ada yang menggunakan iklan, iklan tersebut bukanlah bertujuan untuk menarik pembeli, melainkan untuk memelihara hubungan baik dengan masyarakat.
UNDANG – UNGANG TENTANG MONOPOLI
Dalam situasi tertentu kita membutuhkan perusahaan besar dengan kekuatan ekonomi   yang   besar  dalam  hal  praktek  monopoli, oligopoli,  suap,  harus dibatasi dan dikendalikan, karena apabila tidak dapat merugikan kepentingan masyarakat   pada    umumnya    dan    kelompok-kelompok   tertentu   dalam
17
masyarakat.  Maka  Indonesiapun   kemudian   membuat   sebuah   peraturan antimonopoli   yaituUndang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1999 Tentang  Larangan  Praktik Monopoli  dan   Persaingan  Usaha  Tidak  Sehat. Undang-undang   ini   menerjemahkan   monopoli   sebagai   suatu   tindakan penguasaan  atas  produksi  dan   atau   pemasaran  barang  dan  atau  atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha.
Sedangkan  praktik  monopoli  pada  UU  tersebut  dijelaskan  sebagai  suatu pemusatan  kekuatan  ekonomi   oleh   satu  atau  lebih   pelaku  usaha  yang mengakibatkan  dikuasainya  produksi  dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan  persaingan  usaha  tidak sehat dan dapat  merugikan  kepentingan  umum. UU  ini  dibagi  menjadi  11  bab yang terdiri dari beberapa pasal.





18

Perkembangan Persaingan Usaha di Indonesia                              
Dalam  perkembangan sistem ekonomi Indonesia, persaingan usaha menjadi salah satu  instrument ekonomi  sejak  saat  reformasi  digulirkan. Sebetulnya sudah  sejak  lama  masyarakat  Indonesia, khususnya   para   pelaku  bisnis, merindukan  sebuah  undang-undang  yang  secara  komprehensif  mengatur persaingan sehat. Keinginan  itu   didorong   oleh   munculnya  praktik-praktik perdagangan   yang     tidak    sehat,   terutama    karena    penguasa   sering memberikan  perlindungan   ataupun  priveleges  kepada  para  pelaku  bisnis tertentu,  sebagai   bagian   dari   praktik-praktik   kolusi,   korupsi,  kroni,  dan nepotisme. Dikatakan   secara   komprehensif,   karena   sebenarnya   secara pragmentaris,  batasan-batasan  yuridis  terhadap  praktik-praktik  bisnis yang tidak  sehat  atau curang dapat ditemukan secara tersebar di berbagai hukum positif. Tetapi karena  sifatnya  yang  sektoral, perundang-undangan  tersebut sangat tidak  efektif  untuk (secara konseptual) memenuhi  berbagai  indikator sasaran yang ingin dicapai oleh undang-undang persaingan sehat tersebut.57
Sebuah  undang-undang  yang  secara   khusus   mengatur   persaingan  dan antimonopoli  sudah  sejak  lama  dipikirkan  oleh  para   pakar,  partai  politik, lembaga   swadaya   masyarakat, serta   instansi  pemerintah. Pernah  suatu ketika  Partai  Demokrasi  Indonesia  pada  tahun  1995  menelurkan  konsep Rancangan      Undang-undang     tentang     Antimonopoli.   Demikian     pula Departemen  Perdagangan  yang  bekerja   sama   dengan   Fakultas  Hukum
19
Universitas   Indonesia   pernah   membuat   naskah    akademik   Rancangan Undang-Undang tentang  Persaingan  Sehat di Bidang Perdagangan. Namun patut disayangkan karena semua usulan dan inisiatif tersebut tidak mendapat tanggpada masa-masa itu belum ada komitmen maupun political will dari elite politik  yang  berkuasa  untuk  mengatur  masalah  persaingan  usaha.58
Ada  beberapa  alasan  mengapa  pada  waktu  itu  sulit sekali suatu Undang-Undang Antimonopoli disetujui oleh Pemerintah, yaitu  :                                 1. Pemerintah menganut konsep bahwa perusahaan-perusahaan besar perlu  
    ditumbuhkan    untuk    menjadi    lokomotif    pembangunan.  Perusahaan-
    perusahaan   tersebut   hanya   mungkin   menjadi  besar  untuk  kemudian  
    menjalankan   fungsinya  sebagai  lokomotif  pembangunan  apabila  diberi  
    perlakuan  khusus. Perlakuan  khusus  ini, dalam  pemberian proteksi yang  
    dapat  menghalangi  masuknya  perusahaan   lain   dalam   bidang   usaha  
    tersebut atau dengan kata lain mernberikan posisi monopoli;                         2. Pemberian  fasilitas  monopoli  perlu ditempuh karena perusahaan itu telah  
    bersedia   menjadi   pioner  di  sektor  yang   bersangkutan. Tanpa  fasilitas  
    monopoli  dan  proteksi, Pemerintah  sulit  memperoleh  kesediaan investor  
    untuk menanamkan modalnya di sektor tersebut;
3. Untuk  menjaga  berlangsungnya  praktik   KKN   demi   kepentingan  kroni  
    mantan Presiden Soeharto dan pejabatpejabat yang berkuasa pada waktu  
    itu.

20
Kebijakan pembangunan ekonomi yang kita jalankan selama tiga dasawarsa, selain menghasilkan banyak kemajuan, yang  ditunjukkan  oleh  pertumbuhan ekonomi   yang   tinggi,  juga    masih    banyak   melahirkan   tantangan  atau persoalan  pembangunan  ekonomi   yang   belum   terpecahkan. Di  samping itu, ada   kecenderungan   globalisasi    perekonomian   serta   dinamika   dan perkembangan  usaha  swasta  sejak  awal  tahun 1990-an. Peluang-peluang usaha   yang   telah   diciptakan   oleh   penguasa    pada   waktu   itu   dalam kenyataannya  belum   membuat   seluruh   masyarakat   mampu   dan  dapat berpartisipasi  dalam  pembangunan  di  berbagai  sektor  ekonomi.
 Perkembangan  usaha  swasta, di satu  sisi  diwarnai  oleh  berbagai  bentuk kebijakan penguasa  yang kurang tepat, sehingga  pasar  menjadi  terdistorsi. Di sisi lain, sebagian besar perkembangan usaha swasta pada kenyataannya merupakan   perwujudan  dari  kondisi   persaingan  usaha  yang  tidak  sehat atau curang. Fenomena  yang demikian telah berkembang dan didukung oleh adanya  hubungan  antara  pengambil  keputusan  dan   para   pelaku  usaha, baik   secara    langsung    maupun    tidak    langsung.  Keadaan    ini   makin memperburuk     keadaan.   Penyelenggaraan    ekonomi    nasional    kurang memperhatikan    amanat   Pasal   33   Undang-Undang   Dasar   1945,  serta cenderung  menunjukkan corak  yang  sangat  monopolistik.Para  pengusaha yang  dekat  dengan  elite  kekuasaan mendapatkan kemudahan-kemudahan yang berlebihan, sehingga  menimbulkan  kesenjangan  sosial.

21
         Munculnya  konglomerasi dan  sekelompok  kecil  pengusaha kuat yang tidak  didukung  oleh  semangat  kewirausahaan  sejati merupakan salah satu factor  yang mengakibatkan  ketahanan  ekonomi  menjadi  sangat rapuh dan tidak  mampu  bersaing. Padahal  dalam  era  pasar  bebas nanti, kita dituntut untuk mampu bersaing  dengan  mengandalkan kekuatan sendiri. Lebih ironis lagi,
perilaku  dari  pelaku-pelaku  bisnis kita, yaitu  para  konglomerat  yang  telah memperoleh  perlakuan  istimewa  dari  penguasa   tersebut, ternyata  sangat tidak     bertanggung     jawab,  dan    tidak     mau     berbuat     positif   untuk
memperbaiki kondisi ekonomi nasional yang sangat parah.
            Kondisi semacam ini mengharuskan pemerintah mencari bantuan dari donor-donor  lain, baik  yang  bersifat  kolektif  maupun   negara  per  negara. Ketergantungan    pada    bantuan    asing,   ini    mengharuskan   pemerintah mengikuti   berbagai    persyaratan   yang   disepakati   bersama;   semuanya meletakkan  Indonesia  pada   posisi   yang  lemah.  Walau  demikian,  dalam hal-hal  tertentu, banyak  hal  yang  berkaitan  dengan persyaratan utang luar negeri  itu  yang  mengandung   hikmah,  yaitu   mengakselerasi   pembuatan undang-undang   yang    sebenarnya   sudah  lama  didambakan, yang dalam kondisi  normal  tidak  akan   dibentuk  pada   umumnya  ini  telah terjadwal di antara Indonesia dengan IMF.60


22
Di samping    merupakan    tuntutan   nasional,  Undang-Undang  Persaingan Usaha  (Fair Competition Law) juga    merupakan   tuntutan   atau  kebutuhan rambu-rambu   yuridis    dalam   hubungan    bisnis   antar   bangsa.  Dari  sisi kehidupan   nasional   jelas   bahwa  basis  kultural  (asas kekeluargaan)  dan konstitusional   (demokrasi   ekonomi)  kita  memang   sama   sekali  menolak prakrik-praktik  monopolistic   dalam   kehidupan   ekonomi   yang  merugikan rakyat. Dari  sisi  hubungan  antar  bangsa  pun, apalagi   dengan  munculnya fenomena    globalisasi    ekonomi    yang    mengandung    makna,   semakin meningkatnya  ketergantungan  antar  bangsa  di berbagai  bidang kehidupan (ekonomi),   mengharuskan     berbagai     bangsa     menaati   rambu-rambu (peraturan)   baku    dalam    bisnis    antar    bangsa,   sebagai   konsekuensi WTO,APEC, AFTA, NAFTA, EC, dan  lain  sebagainya.61
Sebab, para  ahli  banyak  yang mengatakan, adanya kondisi persaingan (the state of competition)  dalam   pasar   domestic   merupakan  hal  yang  sangat penting    dari    suam    kebijakan  public  (public   policy), khususnya    untuk mengukur   kemampuan   bangsa   dalam   bersaing   di pasar   internasional, serta untuk meyakinkan  investor dan  eksportir  asing  untuk  bersaing dalam pasar domestik.
Dengan  demikian  tujuan  dari  kebijakan  persaingan  nasional  adalah untuk menciptakan dan  memastikan  bahwa  konsep  persaingan  dapat dijalankan dalam  kerangka  ekonomi  pluralistik. Konsep  dasar  kompetitif  ini pun pada

23
dasarnya  mengandung  unsur  HAM  yang kental, karena di dalamnya terkait "pemajuan"  (promotion)  dari  kondisi   persaingan  (condition  of  rivalry) dan "kebebasan  memilih" (freedom  of  choose) untuk  mengurangi dan melarang konsentrasi  kekuatan-kekuatan  ekonomi. 62
             Untuk itulah, akhirnya harus ada campur tangan negara (government regulation)  untuk   mengembangkan   dan  memelihara   kondisi  persaingan. Bahkan  globalisasi  menciptakan  atmosfer  yang  kondusif untuk persaingan yang   menembus    batas-batas  negara,  yang   membutuhkan   harmonisasi kebijakan yang sering dinamakan "super national of regional standards". Bahkan Masyarakat Ekonomi Eropa(EC) juga  masih  terus  mengembangkan apa   yang   dinamakan "Minimum  Competition  Policy  Requirements  Within    the    Framework     of    the   GATT". Di    lingkungan     ASEAN   pun,   tanpa mengesampingkan   divergensi   struktur   institusional  ekonomi,  politik,  dan sosial, para  ahli  sudah  mulai   berpikir   tentang   perlunya   pengembangan di samping hukum persaingan nasional dan harmonisasi peraturan-peraturan komersial, termasuk hukum persaingan di antara masyarakat ASEAN.63
Doktrin  yang  berlaku  pada  masa  lalu, yang  secara  absolute  menyatakan bahwa  hukum  ekonomi  itu bersifat value loaded, yang dekat dengan kondisi sosial   budaya  bangsa,  tidak   sepenuhnya   dapat  dipertanggungjawabkan dalam kaitannya dengan proses globalisasi. Konsep harmonisasi hukum dan keberadaan  fenomena   internasionalisasi   pasar   menumbuhkan  perhatian yang semakin intensif terhadap apa yang dinamakan  international dimension
24
of  antitrust  and  the  fit  between  competition  policy  and  the  world  trading system. Dalam   kerangka   ini,  muncul   antitrust   family  (international)   link ages of market economies. 64

Pengertian persaingan
Apakah  persaingan  ini baik  atau  tidak bagi suatu usaha, sangat tergantung kepada    kemampuan    pengusahanya.3  Menurut   Kasmir  pesaing   adalah perusahaan  yang  menghasilkan  atau  menjual barang atau jasa yang sama atau mirip dengan produk yang kita tawarkan.4
Persaingan usaha  sendiri dalam kamus manajemen dapat diartikan  sebagai suatu kegiatan bersaing/ bertanding  diantara  pengusaha/ pebisnis yang satu dengan  pengusaha/ pebisnis  lainnya  didalam  memenangkan  pasar (share market) dalam upaya melakukan penawaran produk barang dan jasa kepada
konsumen    dengan   berbagai   strategi   pemasaran    yang   diterapkannya. Persaingan  usaha  terdiri atas:
a. Persaingan  sehat (healthy competition)
Istilah  ini  menegaskan  yang  ingin  di jamin  adalah  terciptanya  persaingan yang  sehat. Dengan melihat  beberapa  istilah di atas dapat dikatakan bahwa apapun  istilah  yang  di pakai, semuanya  berkaitan  tiga  hal  yaitu :
1) Pencegahan atau peniadaan praktek monopoli
25
2) Menjamin persaingan yang sehat
3) Melarang persaingan yang tidak jujur
b. Persaingan  tidak  sehat (unfair competition)
Persaingan  usaha  tidak  sehat adalah persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan  produksi  dan  atau  pemasaran  barang dan atau jasa yang   dilakukan   dengan   cara   tidak   jujur   atau   melawan   hukum    atau menghambat  persaingan  usaha.
Menurut    teori   persaingan    sempurna  ekonomi  klasik, pasar  terdiri   atas sejumlah  produsen  dan   konsumen  kecil  yang  tidak  menentu. Kebebasan masuk dan keluar, kebebasan memilih  teknologi  dan metode produksi, serta kebebasan dan  ketersediaan informasi, semuanya dijamin  oleh  pemerintah.
Dalam  keadaan  pasar  seperti  ini, dituntut   adanya  teknologi  yang  efisien, sehingga pelaku pasar akan dapat bertahan hidup.5
5 Muhammad, Ekonomi Mikro dalam Perpektif Islam, (Yogyakarta: BPFE, Cet: I, 2004), h.lm 371 
Namun   sistem   ekonomi   seperti   ini, dituduh   oleh   kaum   sosialis  hanya memelindungi  pemilik  faktor  produksi. Sehingga  ada tudingan bahwa kaum kapitalis  telah  membuat   keputusan  ekonomi  yang  mengejar  kepentingan individu,   menekankan     tingkat     upah    yang    minimal,  dan   mendorong pengambilan   keuntungan    yang    sebesar-besarnya,  mengkonsentrasikan
26
ekonomi   pada   sebagian   kecil   orang  saja. Selanjutnya,  sistem  ekonomi  pasar  bebas  juga  telah  membawa kepada  ketidak stabilan  dalam aktivitas ekonomi  dan  perputaran  usaha.6  Persaingan   sering  dikonotasikan negatif karena    dianggap     mementingkan    kepentingan   sendiri. Walaupun  pada kenyataannya    seorang    manusia,  apakah    pada    kapasitasnya  sebagai individual  maupun  anggota  suatu   organisasi, secara  ekonomi  tetap  akan berusaha mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Alfred  Marshal, seorang  ekonomi  terkemuka  sampai  mengusulkan  agar  istilah persaingan digantikan dengan  istilah  economic freedom (kebebasan ekonomi)  dalam menggambarkan atau mendukung tujuan positif dari proses persaingan. Oleh sebab  itu  pengertian  kompetisi  atau  persaingan  usaha  dalam  pengertian
yang  positif  dan  independent  sebagai  jawaban terhadap upaya dalam segi keuntungan untuk menarik pembeli agar mencapai untung.7
6 Ibid., hlm. 372.
7 Ningrum Natasya Sirait, Hukum Persaingan di Indonesia, selanjutnya
disebut sebagai Ningrum Natasya II, Pustaka Bangsa Press, Medan, 2004, hal 1 
Dalam  konsepsi  persaingan  usaha,  dengan   asumsi   bahwa   faktor  yang mempengaruhi harga  adalah  permintaan dan  penawaran,persaingan usaha akan dengan  sendirinya  menghasilkan  barang atau jasa yang memiliki daya saing  yang  baik, melalui  mekanisme  produksi   yang   efesien   dan  efektif,

27
dengan  mempergunakan  seminimum  mungkin  faktor-faktor  produksi  yang ada. Dalam  sistem   ekonomi  pasar   yang   demikian,  persaingan   memiliki beberapa pengertian :
1) Persaingan  menunjukkan   banyaknya  pelaku  usaha  yang  menawarkan     atau  memasok  barang  atau  jasa  tertentu  ke   pasar   yang  bersangkutan. Banyak  sedikitnya  pelaku  usaha  yang  menawarkan  barang  atau  jasa  ini menunjukkan struktur pasar (market structure) dari barang atau jasa tersebut. 2) Persaingan merupakan suatu proses  dimana  masing-masing perusahaan berupaya memperoleh pembeli  atau  pelanggan  bagi produk yang dijualnya, antara lain dapat dilakukan dengan: 8                                                              a) Menekan harga (price competition);                                                                   b) Persaingan bukan harga (non-price competition), misalnya yang dilakukan melalui diferensiasi  produk,  pengembangan  hak  atas  kekayaan intelektual, promosi, pelayanan purna jual, dan lain-lain; c) Berusaha  secara   lebih   efisien  atau  tepat  guna  dan   waktu  (low cost-production).
8 Gunawan Widjaja, Merger dalam Persfektif Monopoli, Jakarta , PT. Raja Grafindo Perkasa, 1999, hal 10
9 Peraturan presiden RI.112, Penataan dan Pembinaan pasar tradisional,pusat ,perbelanjaan dan toko modern, 2007.
http://eprints.walisongo.ac.id/3575/3/092411001_Bab2.pdf diakses pada tanggal 01 April 2015 pada jam 14.05 wib.

BAB III
ANALISIS DAN KESIMPULAN
Kasus Monopoli Perusahaan Listrik Negara
Komisi  Pengawas  Persaingan  Usaha  (KPPU)   mengakui   adanya  dugaan pelanggaran   UU No.5/1999    tentang    Larangan    Praktek   Monopoli   dan Persaingan Usaha  Tidak Sehat oleh PT PLN (Persero) apabila BUMN sektor listrik  itu  meneruskan  kebijakan  capping  untuk  TDL  sektor industri. KPPU akan  mengkaji  sesuai  dengan  prosedur  lewat  pemeriksaan  selanjutnya. Kemungkinan pasal yang akan dikaji KPPU ialah pasal 19d di dalam Undang-Undang   Nomor   5/1999    yang    mengatur   masalah   diskriminasi    terkait penerapan  tarif  terhadap  para  pelaku industri.Untuk itu, KPPU akan segera menelisik  data-data  PLN  untuk  melihat  siapa saja pelanggan industri yang menikmati capping  dengan yang tidak. Sementara ini, KPPU mengakui pada 2010  memang  terdapat  perbedaan  tarif  untuk  golongan-golongan industri. Untuk  golongan  industry  kecil  atau  rumah tangga yang dikenakan capping diganjar  Rp803  per KWh. Sementara  yang   tidak kena  capping  dikenakan Rp916  per KWh. Sehingga  ada  disparitas  harga  sekitar  Rp113  per  KWh. Sementara  untuk  golongan  menengah  berkapasitas  tegangan  menengah berbeda  Rp667  per KWh apabila dikenakan capping dan Rp731 KWh untuk yang  tidak. Perbandingan  bagi industri yang memakai capping dengan yang
28
29
tidak, untuk  tegangan  menengah sebesar 23%. Untuk  golongan  tarif untuk keperluan  industry  besar, mereka yang dikenakan capping harus membayar sebesar  Rp594  per  KWh  sementara  yang  tidak  menjadi  Rp605  per KWh (disparitas  harga  Rp11 per KWh).  Berdasarkan   indikasi-indikasi   tersebut, KPPU  akan  segera  melakukan   pemeriksaan  sesuai  prosedur   yang  ada berdasarkan surat yang masuk ke pihaknya pada 11 Januari silam.
KPPU juga akan panggil pihak yang selama ini diuntungkan dengan tarif lebih rendah  atau  yang  iri  terhadap perbedaan harga  karena mereka dikenakan beban  yang  lebih  tinggi  dibanding  yang  lain. Selain itu, mereka  juga akan memanggil  Pemerintah dan  Kementerian  Keuangan  dan  Dirjen  Listrik Kementerian  ESDM  untuk  meminta  pandangan  dari  mereka  dan  akan membuktikan  di lapangan  misalnya  cek  kuitansi supaya ada fakta dan data hukum tidak hanya data statistik[1].
Fungsi    PT. PLN  sebagai    pembangkit,   distribusi,   dan    transmisi   listrik sebenarnya   sudah   mulai   dipecah. Swasta  diizinkan  berpartisipasi  dalam upaya  pembangkitan  tenaga listrik. Sementara untuk distribusi dan transmisi tetap  ditangani PT. PLN. Saat  ini  telah ada 27 Independent Power Producer di Indonesia. Mereka termasuk Siemens, General Electric, Enron, Mitsubishi, Californian  Energy, Edison  Mission   Energy, Mitsui   &   Co, Black  &  Veath Internasional, Duke Energy, Hoppwell Holding, dan masih banyak lagi. Tetapi
30
dalam  menentukan  harga   listrik   yang   harus   dibayar   masyarakat  tetap ditentukan oleh PT. PLN sendiri.
Krisis  listrik  kemudian  juga  memuncak  saat PT. Perusahaan Listrik Negara (PT. PLN) memberlakukan  pemadaman  listrik  secara  bergiliran di berbagai wilayah  termasuk  Jakarta  dan  sekitarnya, selama  periode 11-25 Juli 2008. Hal  ini  diperparah  oleh  pengalihan  jam  operasional  kerja  industri  ke hari Sabtu   dan   Minggu, sekali   sebulan. Semua    industri   di  Jawa-Bali   wajib menaati, dan sanksi bakal dikenakan bagi industri yang membandel. Dengan alasan  klasik, PLN berdalih  pemadaman  dilakukan  akibat defisit daya listrik yang semakin parah karena adanya gangguan pasokan batubara pembangkit utama  di sistem   kelistrikan   Jawa-Bali, yaitu  di  pembangkit   Tanjung  Jati, Paiton  Unit  1 dan 2, serta Cilacap. Namun, di saat  yang  bersamaan  terjadi juga permasalahan serupa untuk  pembangkit  berbahan bakar minyak (BBM) PLTGU Muara Tawar dan PLTGU Muara Karang.
Akibat dari PT. PLN yang memonopoli  kelistrikan  nasional, kebutuhan  listrik masyarakat  sangat  bergantung  pada  PT. PLN, tetapi  mereka  sendiri tidak mampu  secara   merata  dan  adil  memenuhi  kebutuhan  listrik  masyarakat. Banyak  daerah-daerah  yang  kebutuhan  listriknya belum terpenuhi dan juga sering terjadi pemadaman  listrik  secara sepihak. Kejadian ini  menyebabkan

31
Kerugian  yang  tidak  sedikit bagi masyarakat, dan investor  menjadi  enggan untuk berinvestasi.
Analisis Kasus
Kelistrikan  di Indonesia  adalah  bentukan  sejarah,  keadaan  geografis, dan keteresediaan sumber  daya  alam  dari zaman dahulu. Dalam perjalanannya, pemerintah selalu mengambil peran yang sempurna dalam penyediaan listrik bagi rakyat yang didasarkan pada Pasal 33 UUD 1945. Meskipun pada masa pemerintahan   Kolonial    Belanda    dan   setelah   kemerdekaan   telah  ada perusahaan  swasta  komersial  yang memproduksi listrik, namun pemerintah nasional  mengambil   peranan  dalam  pembangunan  sektor  ini  selama  50 tahun  terakhir. Perusahaan  Umum  Listrik  Negara yang didirikan pada 1950 telah  menjadi  pemain kunci dalam cepanya pembangunan sektor kelistrikan. Data  statistik menunjukkan  bahwa PLN adalah salah satu perusahaan listrik terbesar   di dunia   dengan   total  pelanggan  22  juta  dan lebih  dari  50.000 karyawan  serta  hampir seluruh bagian masyarakat adalah stakeholders bagi PLN.[2]
PLN     berdiri     dilandaskan     pada    UU   No. 15   Tahun    1985    tentang Ketenagalistrikan  dan  pada  tahun  2002  UU No.15 Tahun 1985 dinyatakan tidak berlaku oleh UU No. 20 Tahun 2002. Namun kemudian melalui Putusan MK No 001-021-022/PUU-I/2003 yang  dibacakan  pada hari Rabu tanggal 15
32
Desember    2004    menyatakan    bahwa   UU   No. 20   Tahun   2002   tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Permasalahan inti dari persoalan UU No. 20 Tahun 2002  adalah  pada Pasal 16, 17 dan 68 yang menjiwai dari UU ketenagalistrikan  tersebut. Pasal  16  menyatakan  bahwa usaha penyediaan tenaga  listrik  dilakukan  secara  terpisah  oleh  Badan Usaha  yang berbeda. Pasal  17   menyatakan    bahwa    usaha    pembangkitan    listrik   dilakukan berdasarkan kompetisi dan dilarang menguasai pasar. Larangan penguasaan pasar  ini  meliputi  segala  tindakan  yang  dapat   mengakibatkan  terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat antara lain:
1.    menguasai kepemilikan;
2.    menguasai sebagian besar kapasitas terpasang pembangkitan tenaga listrik dalam satu wilayah kompetisi;
3.    menguasai sebagian besar kapasitas pembangkitan tenaga listrik pada posisi beban puncak;
4.    menciptakan hambatan masuk pasar bagi Badan Usaha lainnya;
5.    membatasi produksi tenaga listrik dalam rangka mempengaruhi pasar;
6.    melakukan praktik diskriminasi;
7.    melakukan jual rugi dengan maksud menyingkirkan usaha pesaingnya;
8.    melakukan kecurangan usaha; dan/atau
9.    melakukan persekongkolan dengan pihak lain.
33
Sedangkan  Pasal 68  menyatakan  bahwa  Pada   saat   Undang-undang  ini berlaku,  terhadap    Pemegang    Kuasa    Usaha   Ketenagalistrikan  (PKUK) sebagaimana   dimaksud   dalam   Undang-Undang   Nomor  15  Tahun 1985 tentang  Ketenagalistrikan  dianggap  telah   memiliki   izin  yang   terintegrasi secara    vertikal    yang    meliputi   pembangkitan,  transmisi,  distribusi,  dan penjualan  tenaga  listrik  dengan  tetap  melaksanakan  tugas  dan kewajiban penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan  umum  sampai dengan dikeluar-kannya  Izin  Usaha Penyediaan Tenaga Listrik berdasarkan Undang-undang ini.
Keputusan   MK   dalam   hal   ini   menyatakan  bahwa Pasal 16, 17 ayat (3), serta  68  UU  No. 20  Tahun  2002  tentang    Ketenagalistrikan   berlawanan  dengan  UUD 1945  dan  oleh  karenanya harus dinyatakan tidak mempunyai kekuatan  hukum   mengikat. Meskipun  yang  berlawanan  hanya  tiga  pasal tersebut, akan tetapi karena pasal-pasal tersebut merupakan jantung dari UU No.20  Tahun  2002   padahal   seluruh    paradigma    yang    mendasari  UU Ketenagalistrikan   adalah   kompetisi  atau  persaingan   dalam   pengelolaan dengan sistem  unbundling  dalam ketenagalistrikan tidak sesuai dengan jiwa dan  semangat  Pasal 33 ayat (2) UUD 1945  yang  merupakan  norma  dasar perekonomian  nasional  Indonesia. MK berpendapat bahwa cabang produksi dalam    Pasal  33  ayat  (2)  UUD  1945  di bidang    ketenagalisrikan    harus ditafsirkan  sebagai  satu kesatuan antara pembangkit transmisi dan distribusi
34
sehingga  dengan  demikian  meskipun  hanya  pasal, ayat,  atau  bagian dari ayat   tertentu   saja   dalam   undang-undang   aquo   yang  dinyatakan  tidak mempunyai     kekuatan     hukum     mengkiat     akan    tetapi    hal   tersebut mengakibatkan   UU  No.20  Tahun   2002   secara  keseluruhan  tidak  dapat dipertahankan, karena  akan  menyebabkan  kekacauan  yang   menimbulkan ketidakpastian  hukum  dalam  penerapannya.
Dalam  siaran  Pers  Koalisi  Masyarakat  Anti  Kenaikan Harga sebagai pihak yang  mengajukan  Judicial Review  atas UU No. 20 Tahun 2002 menyatakan bahwa   dalam   UU No. 20  Tahun  2002  terlihat   bahwa   negara  tidak  lagi bertanggung  jawab  terhadap  penyelenggaraan  usaha  penyediaan  tenaga listrik   untuk   kepentingan    umum   dan   tidak   ada   lagi   ketentuan   yang menyebutkan agar  harga  listrik  terjangkau  oleh  masyarakat  sebagaimana semula  ditetapkan  dalam  UU  No. 15  Tahun  1985  terlebih lagi harga listrik diserahkan  kepada  pasar  sehingga tidak mempertimbangkan daya beli atau kondisi  sosial  ekonomi  masyarakat. Hal  ini  sangat  merugikan kepentingan bangsa, negara dan rakyat Indonesia (merugikan kepentingan publik).
Akibat  adanya  pertentangan  antara  UU No.20  Tahun  2002  dengan  UUD Pasal  33,  menimbulkan   dampak   yang   merugikan   kepentingan  bangsa, Negara dan masyarakat  (publik)  Indonesia, PLN  juga  terkena  dampaknya. PLN yang selama ini merupakan satu-satunya BUMN yang mengelola sektor
35
ketenagalistrikan  dan  telah  memberikan  sumbangsih bagi bangsa, Negara, dan  masyarakat  yang  telah  menjalankan fungsi untuk menyediakan tenaga listrik bagi seluruh masyarakat Indonesia dengan  harga  terjangkau dan  juga telah   memberikan    peran    yang    besar    bagi    perekenomian   nasional, berdasarkan  UU No. 20 tahun 2002  tidak  lagi  merupakan  cabang produksi yang  penting  yang  menguasai  hajat  hidup  orang  banyak. Akibatnya, tidak adanya jaminan dan kepastian bagi  seluruh  masyarakat  untuk  memperoleh tenaga    listrik   dengan    harga   terjangkau   dan   justru   akan    merugikan perekonomian   Negara   yang    pada   akhirnya   akan   mengurangi   tingkat kesejahteraan   dan   kemakmuran   rakyat   Indonesia. Bahkan    dapat   pula mengganggu  keamanan  negara dan kedaulatan negara karena negara tidak lagi  berkewajiban  mengelola  cabang produksi terpenting untuk kepentingan dan kemakmuran rakyat.
Putusan  MK  ini  sejalan  dengan  pengalaman dunia akan tenaga kelistrikan yang telah  membuktikan  bahwa  keberhasilan restrukturisasi  sector  tenaga listik    adalah    mitos   belaka. Sejumlah     negara   baik   negara   maju  dan berkembang telah menerapkan restrukturisasi namun memberikan hasil yang serupa yaitu kenaikan tarif listrik, terjadinya pemadaman, menurunnya tingkat kehandalan, penguasaan sektor listrik oleh sebagian kecil perusahaan energi multinasional  dan  kegagalan  negara  melindungi  kepentingan ekonomi dan kepentingan masyarakat.
36
Secara   ekonomi,  iklim   kompetensi   dan    persaingan   yang  sehat  dapat menghemat  miliaran  atau  bahkan  terilyunan  rupiah  uang  konsumen yang harus  dibayarakan ke produsen  karena harga yang tidak wajar (overcharge) sebagai   akibat   kenaikan   harga   yang   artifisial. Secara   umum,  terdapat beberapa    manfaat     yang     didapat     perekonomian    jika    pada   sektor ketenagalistrikan  terjadi  kompetisi  dan persaingan yang sehat, di antaranya adalah:
  1. Harga yang wajar dilihat dari kualitas.
Dalam iklim  persaingan, produsen akan berlomba-lomba  menarik konsumen dengan  menurunkan  harga  dan  meningkatkan   kualitas  barang/jasa  yang dijualnya. Hanya  barang/jasa  dengan  harga  yang  rendah  dengan  kualitas terbaik  yang  akan  dibeli  oleh  konsumen.
  1. Konsumen memiliki banyak pilihan dalam membeli barang/jasa.
Pasar  yang   kompetitif  akan  menghasilkan   barang/jasa   yang  ditawarkan pelaku  usaha  dengan  pilihan  harga  dan  kualitas   yang   bervariasi. Setiap konsumen pada dasarnya  memiliki  daya beli dan selera yang berbeda-beda. Karakteristik   konsumen   untuk  memproduksi  barang/jasa  sesuai  dengan kemampuan  dan  keinginan   konsumen. Produsen   dituntut   untuk   sensitif terhadap  daya  beli  dan  perubahan  selera  konsumen. Pelaku  usaha  yang
37
tidak   tanggap     terhadap   perubahan   daya   beli   dan   perubahan  selera konsumen lambat laun akan tersingkir di pasar.
  1. Persaingan memungkinkan timbulnya inovasi.
Persaingan    usaha    akan    merangsang    pelaku   usaha  berlomba-lomba membuat     inovasi,   baik     inovasi      produk    untuk     memenuhi    selera  konsumen, inovasi   teknologi  maupun  inovasi  metode  produksi yang  lebih efisien. Inovasi akan  terus  berkembang  karena  dalam pasar yang bersaing hanya  pelaku  usaha  inovatif   yang  dapat   bertahan  dan  bersaing. Terkait dengan  sector  ketenagalistrikan, jika  ada  pesaing  lain  bagi PLN, tentunya akan    mendorong   PLN    berpikir   dan   melakukan    yang   terbaik   dalam menentukan  harga  dan  memberikan pelayanan. Hal ini secara  positif  akan mendorong  PLN  pada  efisiensi kinerja  dan  inovasi teknologi.
Namun, kompetisi  yang  dikehendaki  agar  dapat tercapai suatu  iklim usaha yang  sehat  tidak  dapat  dilakukan  dalam  bidang   ketenagalistrikan. Hal ini dikarenakan  segmen  yang  bersifat  monopoli  alamiah  tidak dikompetisikan dan   diprioritaskan   untuk   dikelola   oleh   BUMN.  Pada    dasarnya   usaha penyediaan  ketenagalistrikan   dilakukan   secara  monopoli, harga  jual  juga tetap  dilakukan oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah berdasarkan kewenangan   dalam   member i   izin   tersebut. Meskipun   demikian   usaha penyediaan ketenagalistrikan juga dapat  dilakukan  secara  terintegrasi  atau
38
satu jenis usaha saja. Namun  karena PLN adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN)    maka     diberi     hak     untuk    diprioritaskan    dalam   memenuhi ketenagalistrikan. Dengan    demikian    ketersediaan    listrik   sesungguhnya merupakan tugas Pemerintah untuk menenuhinya. Keterlibatan swasta dalam penguasaan   listrik    tidak    dapat    dilakukan    melalui    mekanisme  pasar dikarenakan   ketenagalistrikan   merupakan   sektor   yang   unik   dan   perlu penanganan  khusus  demi  untuk  tersedianya  listrik  yang relatif murah bagi seluruh rakyat Indonesia.
Oleh karena itu, secara hukum masih terdapat  berbagai  perdebatan, apakah usaha    yang    dilakukan    oleh   PLN   adalah    tindakan   monopoli    yang diperbolehkan  atau  tidak. Namun melihat  dari  kerugian  yang  diterima oleh masyarakat, seharusnya   tindakan   monopoli    ini    tidak   boleh   dilakukan. Kerugian  ini diduga  karena kurang  optimalnya  kinerja PLN dalam penyedia listrik  masyarakat. Sedangkan  dari  segi  persaingan  usaha, monopoli  yang dilakukan  PLN  merupakan  persaingan usaha yang tidak sehat karena mulai adanya  pihak  swasta  yang  juga  menyediakan  tenaga  listrik  di Indonesia. Persaingan   ini   dianggap   sehat   apabila  PLN   tidak  menghalangi  usaha perusahaan listrik swasta lainnya  untuk menyediakan listrik bagi masyarakat, sedangkan  dalam hal  ini  PLN  malahan menghalangi perusahaan lain untuk bersaing  di bidang  ketenagalistrikan  ini.
39
3. KESIMPULAN
PT. Perusahaan Listrik Negara (Persero) telah melakukan tindakan monopoli, yang  menyebabkan  kerugian  pada  masyarakat.Tindakan PT. PLN  ini telah melanggar   Undang-undang   Republik   Indonesia   Nomor   5   Tahun  1999 Tentang  Larangan  Praktik  Monopoli  dan  Persaingan  Usaha  Tidak  Sehat. Namun, monopoli  yang  dilakukan  oleh  PLN dalam  sektor ketenagalistrikan memiliki landasan yuridis yang kuat yakni melalui konstruksi hukum Pasal 33 UUD   1945,   UU   Ketenagalistrikan.  Hanya   saja,   PLN    belum     mampu menunjukkan  kinerjanya  secara  optimal  sehingga  belum  dapat memenuhi kebutuhan  listrik  bagi  seluruh  rakyat  Indonesia  secara layak. Demikian  ini merupakan suatu hal yang dilematis bagi  penyelenggaraan ketenagalistrikan di Indonesia mengingat  kedudukan  PLN  yang  kuat  secara yuridis tersebut.
Untuk  memenuhi  kebutuhan listrik  bagi masyarakat secara adil dan merata, sebaiknya pemerintah juga membuka  kesempatan  yang  luas bagi penyedia listrik  lain  baik  investor  swasta maupun   internasional   dalam   persaingan usaha ketenagalistrikan. Akan tetapi, Pemerintah harus tetap mengontrol dan memberikan    batasan     bagi     investor   tersebut, sehingga    tidak    terjadi penyimpangan     yang     merugikan     masyarakat.  Selain   itu,   Pemerintah hendaknya  dapat  memperbaiki  kinerja PLN saat ini, sehingga menjadi lebih baik  demi  tercapainya  kebutuhan   dan  kesejahteraan  masyarakat  banyak
40
sesuai  amanat  UUD  1945  Pasal  33.Putusan   Mahkamah  Konstitusi  (MK) No. 001-021-022/PUU-I/2003.
Undang-Undang  Republik  Indonesia  No. 5  Tahun 1999  tentang  Larangan Praktek  Monopoli  dan  Persaingan  Usaha  Tidak  Sehat.                  Undang-Undang     Republik     Indonesia    No.   20    Tahun    2002   tentang Ketenagalistrikan.
KASUS CROSS OWNERSHIP DAN PELANGGARAN PERSAINGAN USAHA YANG DILAKUKAN TEMASEK DALAM INDUSTRI SELULER DI INDONESIA

I.LATAR BELAKANG KASUS

                Kasus kepemilikan silang Temasek terhadap dua operator seluler di Indonesia mencuat  pada tahun 2007. Kasus yang ditangani KPPU ini menyita perhatian publik secara luas dan cukup berkepanjangan. Mungkin ini disebabkan karena reputasi temasek di duinia internasional sebagai sebuah company besar. Debat akademis dikalangan praktisi hukum dan ekonomi pun cukup hangat menyelimuti kasus ini. Pro-kontra, thesis dan anti thesis yang cukup sehat turut menyuburkan khazanah teori dan tradisi kajian akademis dan yang berbobot terutama pengayaan di bidang ekonomi kelembagaan. Sebagaimana dipahami bahwa kepemilikan saham pada satu atau beberapa
41
perusahaan yang bisnisnya sejenis atau tidak lewat anak-anak perusahaan merupakan hal yang lazim dan secara yuridis tidak terlarang dalam berbisnis, baik secara nasional maupun multinasional. Yang dilarang adalah apabila kepemilikan saham pada suatu perusahaan, baik secara langsung maupun lewat anak perusahaannya, menimbulkan penguasaan pasar pada satu jenis barang atau jasa tertentu secara dominan sebagaimana diatur di Pasal 27 UU No. 5/1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.1Bagi ekonom, suatu perusahaan dikatakan berpangsa pasar dominan dan secara yuridis terlarang bila memiliki pangsa pasar lebih dari 50 persen. Rasionalisasi di balik larangan itu karena perusahaan dengan pangsa pasar lebih dari 50 persen memiliki market power mendikte  pasar dan cenderung mempraktikkan perilaku bisnis yang antikompetisi dan persaingan usaha tidak sehat. Kecenderungan ini lazim dipraktikkan di negara-negara yang belum menjunjung tinggi nilai-nilai kompetisi sehat. Dalam kasus ini, KPPU telah mengeluarkan keputusannya di tahun 2007 melalui putusan  perkara bernomer 07/KPPU-L/2007 yang mengharuskan Temasek melepaskan sahamnya di Telkomsel atau Indosat. Keputusan ini merupakan keputusan yang paling rasional dan acceptable baik secara ekonomi dan yuridis. Keputusan itu merupakan wujud nyata sanksi administrasi KPPU atas Temasek untuk menghentikan posisi dominannya (Pasal 25 UU No. 5/1999) yang tidak hanya dapat menciptakan persaingan usaha sehat, tetapi  juga  berpotensi  mendorong  terjadinya  penurunan tarif
42
dan peningkatan kualitas layanan. Kebijakan ini juga dapat mengatasi perilaku buruk operator dan mengurangi kerugian masyarakat (konsumen). Sehubungan dengan hal tersebut, keputusan KPPU yang mengharuskan Temasek melepaskan sahamnya di Telkomsel atau Indosat dan menghukum Telkomsel menurunkan tarifnya sebesar 15 persen merupakan refleksi kebijakan intervensi pasar pemerintah yang secara yuridis tidak melampaui kewenangan KPPU dan selaras dengan tujuan Pasal 2 UU Nomor 5/1999. Keputusan itu tidak hanya berdampak menciptakan iklim usaha yang kondusif dan  persaingan usaha yang sehat antaroperator. Tetapi juga memicu penurunan tarif dan peningkatan kualitas layanan dalam bertelekomunikasi.
II.ANALISA KASUS

                            Dalam menganalisa kasus yang telah diputuskan oleh KPPU ini, kami memakai  pendekatan Joskow melalui Transaction Cost Economy.Kenapa pendekatan joskow yang dipakai untuk menganalisa kasus ini? Sebagaimana kita ketahui, kasus Temasek ini terbilang  berjalan sampai cukup lama, karena adanya tuntutan atau lebih tepatnya ancaman dari Temasek untuk melakukan gugatan balik kepada KPPU dan memperkarakan. Ini semakin menguatkan hipotesa Joskow bahwa sebuah kebijakan anti trust tidak ditujukan untuk “memperbaiki” ketidaksempurnaan dalam pasar 2. Sebagai deterrence system,kebijakan antitrust perlu disosialisasikan   dengan   baik, sehingga   pasar   dapat   membuat  batasan
43
perilaku dan struktur pasar yang legal dan illegal. Menurut Joskow kemampuan pengadilan untuk mengevaluasi analisa ekonomi yang kompleks sangat terbatas. Dalam kasus temasek ini memang sangat kompleks  permasalahan yang dihadapi. Maka diperlukan tidak hanya pendekatan hukum semata tapi juga harus mencakup analisa ekonomi industry secara lebih akurat. Jangan sampai kebijakan yang telah dikeluarkan KPPU kontra produktif terhadap pasar dan konsumen seluler di Indonesia. Karena seperti kita ketahui telkomsel dan Indosat adalah dua  pemimpin pasar seluler di negeri ini, yang setiap keputusan akan berdampak pada proses bisnis di dalam internal mereka. Baiklah kita akan mulai bagaimana rancang bangun Joskow dalam menganalisa sebuah kasus anti trust. Ada beberapa tahapan yang dipakai Joskow dalam pendekatannya : 1Menentukan apakah perusahaan tersangka memiliki pangsa pasar dominan. 2.Menentukan apakah ada significant barriers to entry kedalam pasar terkait. 3.Jika kondisi poin 1 (satu) dan 2(dua) terjadi maka disimpulkan ada market power atau monopoly power. 4.Kemudian dilakukan test apakah ada perilaku eksklusif (exclusionary behavior) yang membatasi persaingan. 5.Jika perilaku eksklusif adalah predatory pricing maka kemudian diuji apakah perusahaan dominan tersebut dapat mengambil keuntungan di masa depan dari menaikan harga saat kompetisi tereduksi (recoupment test ).



44

A.Analisa pangsa pasar

Langkah pertama yang dilakukan sebagai analisa adalah menentukan posisi pasar kedua operator seluler tersebut dalam struktur persaingan pasar seluler di Indonesia. Sesuia data yang ada (KPPU 2007), PT Telkomsel merupakan pemimpin pasar seluler di Indonesia dengan  penguasaan pasar sampai dengan tahun 2006 sebesar 55,6% dan PT Indosat menguasai 26,18%                                                                                                       2Bahan kuliah Ekonomi kelembagaan, MPKP FEUI, Yohana Gultom M.Phill.
pasar seluler di Indonesia. Artinya tingkat penguasaan pasar dari dua operator tersebut saja jika digabungkan sudah mencapai 80% lebih. Analisa tahap pertama ini tidak selesai cukup sampai disitu, karena asumsi penggabungkan pangsa pasar ini harus berdasar pada dugaan awal bahwa kepemilkan keduanya adalah pada pihak yang sama. Maka ditelusurilah dari data-data kepemilikan didapatkan kenyataan bahwa PT Indosat sahamnya dikuasai oleh STT Telemedia melalui ICL dan IC sejumlah 38% dan 0,9%. Sedangkan Telkomsel sahamnya sebanyak 35% dikuasai oleh SingTel. Kedua perusahaan tersebut STT Telemedai dan SingTel sahamnya dikuasai 100% oleh Temasek Holding Inc. Dalam konteks analisa tahap pertama maka terbukti  bahwa kedua operator tersebut menguasai pasar secara dominan. Temasek Holdings Pte. Ltd (selanjutnya disebut Temasek) memiliki saham   mayoritas   pada    dua    perusahaan    yang    melakukan   kegiatan  
45
usaha dalam bidang yang sama pada pasar bersangkutan yang sama, sehingga melanggar pasal 27 huruf a UU No 5 Tahun 1999.3
B. Analisa Hambatan Masuk Pasar

                   Tahap kedua analisa adalah menguji apakah terjadi barriers entry dalam industry seluler di Indonesia. Dugaan awal adalah PT. Telekomunikasi Selular (selanjutnya disebut Telkomsel) mempertahankan tarif seluler yang tinggi, sehingga melanggar pasal 17 ayat(1) UU No 5 Tahun 1999. Telkomsel menyalahgunakan posisi dominannya untuk membatasi pasar dan  pengembangan teknologi sehingga melanggar pasal 25 ayat (1) huruf b UU No 5 Tahun 1999. Analisa dilakukan dengan menggunakan model-model grafis pasar oligopoly dengan penerapan teori cournot dll. Untuk menggambarkan kasus ini kita akan menggunakan salah satu model ekonomi dalam teori oligopoly. Model Oligopoli Stackelberg menggambarkan perilaku pelaku usaha menentukan nilai output yang diproduksi tidak dalam waktu yang bersamaan namun berurutan. Dengan model ini, dapat digambarkan bahwa terdapat leader dan terdapat follower; Pada model Cournot, perusahaan bereaksi secara pesimis atas perubahan output pesaingnya. Dengan kata lain, ketika pesaing menurunkan output, perusahaan akan menaikkan outputnya, namun lebih kecil dibandingkan penurunan output pesaingnya. Begitu pula sebaliknya. Pada akhirnya, akan tercipta Cournot equilibrium (titik A), yang  besarnya  lebih  kecil dibandingkan keseimbangan      kompetitif      (titik B)     dan     lebih     besar   dibandingkan
46
keseimbangan kolusif (titik C); Bila perusahaan-perusahaan oligopoli bekerjasama, misalnya dengan melakukan kartel, kesejahteraan konsumen akan menjadi rendah. Hal ini dapat juga mengikuti logika Game Theory atau The Prisonners’ Dillema. Bila perusahaan tidak kooperatif satu sama lain, maka keduanya akan beresiko kehilangan konsumen secara signifikan bila kebijakan harga dan kuantitasnya salah, sehingga jalan terbaik adalah berkompetisi. Namun, ketika perusahaan  bekerjasama/melakukan perjanjian dengan pesaingnya, maka perusahaan akan dapat menaikkan harga secara bersamaan dan menaikkan keuntungannya masing-masing dari total revenue yang meningkat. Dengan begini, maka collusive oligopoly akan menjadikan harga keseimbangan lebih tinggi dengan kuantitas produk yang lebih rendah dibandingkan non-cooperative oligopoly. Karena itu collusive oligopoly akan berdampak besar pada menurunnya kesejahteraan konsumen.Dari data yang ada didapti kenyataan bahwa Telkomsel selalu unggul dalam penguasaan investasi BTS. Inilah factor yang bisa diduga sebagai perilaku barriers entry dalam pasar seluler Indonesia. Telkomsel selalu konsisten menjaga investasinya dalam pengembangan BTS-BTS baru sejak masa cross ownership terjadi. Kenaikan cukup signifikan dalam penguasaan pangsa pasar dialami oleh Telkomsel, sebaliknya bagi Indosat agak mengalami penurunan.


47
Hal ini menunjukan bahwa agresivitas follower sulit mengejar first mover secara langsung. Dibutuhkan waktu yang cukup lama untuk dapat menciptakan kondisi head to head competition antara first mover dan follower yang menjadi penentu kompetisi yang sehat.Perlunya investasi yang cukup besar serta waktu yang lama untuk dapat menyaingi first mover, menjadi entry barier yang cukup signifikan dalam industri seluler. Strategi pemerintah untuk menciptakan persaingan dengan meminimalisir entry barier dengan memberikan kemudahan izin bagi new entrant tidak akan terlalu berarti. Karena new entrant tidak dapat mengejar first mover dalam waktu terlalu lama. Banyaknya kompetitor dalam industri tersebut  justru tidak dapat diartikan adanya kompetisi. Karena faktor waktu menjadi sangat krusial. Adanya jangka waktu lama upaya new entrant tersebut akan membuat first mover memiliki  posisi dominan dengan market power yang mudah digunakan untuk mengakumulasi monopolis  profit.
C.Analisa Monopoly Power dan Eksclusionary Behaviour

                   Sehingga dari langkah 1(satu) dan 2 (dua) diatas bisa diambil kesimpulan sebagai langkah  ketiga yaitu telah terjadi monopoly power dalam pasar seluler di Indonesia. Namun  pertanyaan selanjutnya adalah apakah terjadi perilaku eksklusif dan kecenderungan merugikan konsumen. Langkah keempat dalam metodologi Joskow membuktikan bahwa dalam kasus ini Telkomsel berusaha mempertahankan tarif seluler yang tinggi teruatama dalam  biaya  interkoneksi dan  sms.Sehingga dengan  penguasaan  jaringan
48
dan pangsa pasar yang dimilikinya mereka bisa semaunya mengatur tarif seluler di Indonesia yang membuat para followers mau tidak mau berusaha mengikuti tarif tersebut. Hasil akhir adalah kesejahteraan konsumen yang dirugikan.Tarif yang masih tinggi ini jika kita merujuk pada data besaran tarif seluler dalam kurun waktu lima tahun terakhir, tidak banyak penurunan yang dinikmati oleh konsumen telekomunikasi. Kisaran tarif biaya sambungan antaroperator seluler masih berada di Rp 1.400-1.600 per menitnya. Hal ini sungguh sulit untuk dapat diterima akal sehat. Seharusnya, dengan ketatnya persaingan usaha, para operator seluler dapat menurunkan biaya tarif selama tidak melanggar aturan interkoneksi. Apalagi daya tarik terbesar yang dimiliki operator seluler dalam  pasar telekomunikasi Indonesia adalah rendahnya tarif yang ditawarkan.Sulit untuk diterima  bahwa Temasek, sebagai induk perusahaan para pemegang saham kedua operator dominan tersebut, tidak memanfaatkan penguasaan pasar Indosat dan Telkomsel untuk mengeruk untung yang sebesar-besarnya. Ditambah lagi, dengan adanya kondisi permintaan pasar yang tidak elastis atas layanan telekomunikasi. Mau tidak mau, konsumen akan selalu membayar biaya yang dibebankan operator, tidak ada sarana telekomunikasi (modern) alternatif yang secara ekonomis dapat dimanfaatkan dan diakses oleh masyarakat secara meluas di Indonesia pada saat ini.Bukan tidak mungkin kartel tarif yang diatur oleh jaringan pemegang saham Indosat dan Telkomsel ini akan membentuk  suatu  jenis  monopoli baru. Sebuah monopoli yang bersumber
49
bukan dari penguasaan pasar oleh satu pelaku usaha, namun dari penguasaan  saham  pada  para  pelaku usaha dominan  dalam satu industri.
D.Recoupment Test

                   Dalam uji ini terlihat bahwa tingkat pengembalian modal atau return on equity (ROE) Telkomsel yang 35 persen sahamnya dimiliki Singtel mencapai 55 persen. Ini membuat operator seluler dengan jaringan terluas di Indonesia ini meraup laba bersih Rp 11,182 triliun. Selain itu, kalkulasi KPPU atas kerugian yang diderita konsumen akibat penerapan tarif mahal oleh Telkomsel, Indosat, dan Excelcomindo selama periode 2003-2007 mencapai Rp 14,7 triliun hingga Rp 30,8 triliun. Keputusan KPPU yang turut menghukum Singapore Technologies Telemedia (STT), STT Communications, AMH Company, Indonesia Communication, Singapore Telecommunication, dan Singapore Telecom Mobile dengan alasan perusahaan-perusahaan itu  berstruktur kepemilikan silang juga tampaknya cukup beralasan. Secara praktik bisnis, perusahaan-perusahaan itu berafiliasi dengan Temasek, baik langsung maupun tidak langsung. Dengan demikian, secara yuridis mereka dapat dihukum secara tanggung renteng. Demikian pula keberatan yang menyatakan tidak mungkin Temasek (yang hanya menguasai 35 persen saham Telkomsel, sedang 65 persen sisanya dimiliki Telkom) mengendalikan Telkomsel, secara praktis juga dipertanyakan. Secara operasional kelaziman  bisnis menunjukkan pengendalian suatu perusahaan tidak bergantung pada besar kecilnya saham yang dimiliki, tetapi
50
ditentukan kemahiran pemilik saham (Temasek) ‘menggiring’ pemilik saham (operator) lainnya atas nama kepentingan bersama, seperti penguasan pangsa pasar dan  peningkatan laba. Hak Temasek mengangkat direksi dan komisaris di Telkomsel maupun di Indosat di  posisi strategis, secara praktis ekonomi merupakan indikasi konkret kemampuan Temasek (melalui Singtel dan STT) mendikte Telkomsel dan Indosat yang secara operasional mendominasi pangsa pasar seluler nasional. Bukti dominasi ini terlihat dari pangsa pasar ponsel Telkomsel dan Indosat yang menguasai 83,7 persen, sedang Excelcomindo hanya 13,5 persen. Sisanya diperebutkan oleh Mobile-8, Sampoerna, HCPT, dan Natrindo.sa dibaca dalam amar  putusan KPPU Memang jika merujuk pendapat Prof.Hikmahanto Juwana, sebagai saksi ahli yang diahdirkan dalam kasus ini menyatakan bahwa asal 27 huruf adari UU Anti Monopoli harus dibaca berdasarkan Rule of ReasonPasal 27 huruf a dari UU Anti Monopoli merupakan Bagian Posisi Dominan dan dalam hal ini; Pasal 27 huruf a dari UU AntiMonopoli tersebut harus dibaca secara bersama-sama dengan penyalahgunaan spesifik dari Posisi Dominan yang dilarang oleh Pasal 25 dari UU Anti Monopoli. Pembacaan secara luas dari Pasal27 huruf a dari UU Anti Monopoli, bahwa keberadaan suatu posisi dominan semata-mata adalah melawan hukum akan membuat kerancuan pada Pasal 25 dari UU Anti Monopoli karena Pasal 25dari UU Anti Monopoli hanya diterapkan jika Posisi Dominan disalahgunakan.

51

III.KESIMPULAN

                  Berdasarkan analisa di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kepemilikan secara tidak langsung Temasek terhadap Telkomsel dan Indosat selaku pelaku usaha dalam bidang telekomunikasi di Indonesia mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau usaha  persaingan tidak sehat di industri telekomunikasi. Sehingga, sudah tepat KPPU melakukan kajian atas tindakan Temasek tersebut khususnya hubungan STT dengan Temasek yang menguasai 35% saham di PT Telkomsel. Salah satu kewenangan KPPU sebagaimana diatur dalam Pasal 36 butir b dan l Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU No. 5/1999): ”KPPU berwenang melakukan penelitian tentang dugaan adanya kegiatan usaha dan atau tindakan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat dan menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif kepada pelaku usaha yang melanggar undang-undang’. Opsi tindak lanjut KPPU sesuai Pasal 47 ayat 2 huruf e UU No. 5/1999 adalah penetapan  pembatalan atas pengambilalihan saham Indosat oleh Temasek. Selain itu, pelanggaran atas Pasal 28 juga diancam dengan pidana denda dan pidana tambahan sebagaimana dalam Pasal 48 ayat 1 jo Pasal 49 UU No. 5/1999 pidana denda minimal Rp. 25 milyar dan maksimal Rp. 100 milyar atau pidana kurungan pengganti denda maksimal 6 bulan dan pidana tambahan berupa  pencabutan izin usaha atau larangan untuk
52
menjadi direktur atau komisaris minimal 2 tahun dan maksimal 5 tahun atau penghentian kegiatan atau tindakan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian pada pihak lain. Oleh karena itu, pengambilalihan saham yang dilakukan Temasek melalui STT atas saham Indosat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat melanggar UU No. 5/1999 sehingga harus dikenakan sanksi sebagaimana diatur dalam undang-undang itu. UU No. 5/1999 memang dirancang untuk mengoreksi tindakan dari pelaku ekonomi yang memiliki posisi yang dominan karena mereka dapat menggunakan kekuatannya untuk berbagai macam kepentingan yang menguntungkan pelaku usaha tersebut. Selain itu maksud dari diadakannya privatisasi adalah untuk mendorong persaingan yang sehat bukannya untuk memonopoli usaha dibidang telekomunikasi di Indonesia.







BAB IV
KESIMPULAN
1)Monopoli dalam bidang Hak atas Kekayaan Intelektual adalah Hak dari
Pemegang  Hak  atas  Kekayaan Intelektual  untuk  memberikan ijin  atau
melarang  penggunaan  dari Hak  atas  Kekayaan  Intelektual sedangkan
Monopoli dalam bidang Persaingan Usaha adalah penguasaan atas produksidan atau pemasaran barang dan atau atas penggunaan jasa tertentu oleh suatupelaku usaha atau suatu kelompok pelaku usaha dengan cara melawan hokum sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat, dengan alasan ini Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopolidan Persaingan Usaha Tidak Sehat, memberikan pengecualian pada perjanjianyang berkaitan dengan HKI.
2).Lisensi atas kekayaan intelektual yang memuat ketentuan-ketentuan yang menimbulkan persaingan usaha tidak sehatdapat dikenai ketentuan-ketentuan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999,serta sanksi-sanksi yang berlaku pada Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.






53
DAFTAR PUSTAKA


















54



0 komentar:

 

Ora Et Labora (Amazing Grace) Published @ 2014 by Ipietoon