MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA
Tugas Kelompok
Mata Kuliah : Pengantar Hukum Bisnis
Dosen : Achmad Luthfi Prawirayudha
Disusun Oleh :
Kelompok 2 Materi 5
1.ALDI NIM
2.KEREN NIM
3.MILA NIM
4.WITRIYAH NIM
5.SARIMAULI PRANSISCA NIM 2014122236
6.TRIYANA FEBRI NIM
Kelas 02 SAKEF Akuntansi C.222
FAKULTAS EKONOMI
PROGRAM STUDI EKONOMI AKUNTANSI
UNIVERSITAS PAMULANG
2015
2015
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum warahmatullahi
wabarakatuh.
Alhamdulillahirabbilalamin,
banyak nikmat yang Allah berikan, tetapi sedikit sekali yang kita ingat. Segala
puji hanya layak untuk Allah Tuhan serta sekalian alam atas segala berkat,
rahmat, taufik, serta hidayah-Nya yang tiada terkira besarnya, sehingga penulis
dapat menyelesaikan makalah dengan judul “Monopoli dan
Persaingan Usaha ”.Dalam
penyusunannya, penulis memperoleh banyak bantuan dari berbagai pihak, karena
itu penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: Kedua orang
tua dan segenap keluarga besar penulis yang telah memberikan dukungan, kasih,
dan kepercayaan yang begitu besar. Dari sanalah semua kesuksesan ini berawal,
semoga semua ini bisa memberikan sedikit kebahagiaan dan menuntun pada langkah
yang lebih baik lagi. Meskipun penulis berharap isi dari makalah ini bebas dari
kekurangan dan kesalahan, namun selalu ada yang kurang. Oleh karena itu,
penulis mengharapkan kritik dan saran yang dapat membangun lebih baik
lagi. Akhir kata penulis berharap agar
makalah ini bermanfaat bagi semua pembaca.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi
wabarakatuh.
Pamulang, April 2015
Penyusun
ii
DAFTAR
ISI
HALAMAN JUDUL…………………………………………………………………..i
KATA PENGANTAR………………………………………………………………...ii
DAFTAR ISI…………………………………………………………………………iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
dan Masalah…………………….....………………1
B. Rumusan
Masalah………………...…………………………………2
C. Tujuan Penelitian…………….…...………………………………….2
BAB II PEMBAHASAN…………………………………………………………..3
BAB III ANALISIS KASUS DAN
KESIMPULAN……………………………...28
BAB IV KESIMPULAN…………………………………………………………..53
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………….54
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang Masalah
Pasar sebagai kumpulan
jumlah pembeli dan penjual individual mempunyai karakteristik-karakteristik tertentu.
Karakteristik tersebut muncul karena masing-masing individu pembeli dan penjual
mempunyai perilaku individual yang berbeda pula. Di dalam biaya produksi
terdapat karakteristik pasar tertentu dimana dalam pasar tersebut hanya
terdapat satu penjual dari satu produk (barang atau jasa) yang tidak mempunyai
alternatif produk pengganti (substitusi). Pasar
dengan karakteristik tersebut disebut dengan pasar monopoli. Mengingat dalam
pasar monopoli hanya terdapat satu penjual dari satu produk (barang atau jasa)
yang tidak mempunyai alternatif produk pengganti (subtitusi) maka dalam pasar
monopoli tidak ada persaingan dari penjual lain. Dalam kehidupan perekonomian yang faktual, sangat jarang
mendapat penjual yang tidak menghadapi persaingan dari penjual lain.
Meskipun dalam suatu pasar misalnya hanya terdapat satu penjual sehingga tidak
ada persaingan secara langsung dari penjual lain, tetapi penjual tunggal
tersebut akan menghadapi persaingan secara tidak langsung dari penjual
lain yang menghasilkan produk yang dapat merupakan alternatif produk pengganti
yang tidak sempurna.
1
2
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar
belakang permasalahan di
atas, rumusan masalah
penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1.Bagaimana
perkembangan persaingan usaha di Indonesia ?
2.Bangaimana sanksi
dalam antimonopoli dan persaingan usaha ?
3.Jelaskan pengertian
pasar monopoli ?
4.Jelaskan asas dan
tujuan pasar monopoli ?
5.Bagaimana
Undang-undang tentang monopoli ?
6.Jelaskan pengertian
Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU) ?
7.Jelaskan kegiatan
yang dilarang dan perjanjian yang dilarang ?
8.Jelaskan
jenis-jenis monopoli dan ciri – ciri pasar monopoli ?
C. Tujuan Penelitian
a.
Tujuan Penelitian
1. Untuk menganalisis
monopoli
dan persaingan
usaha.
2. Untuk menganalisis monopoli
terhadap
persaingan usaha.
3. Untuk mengetahui kegiatan yang dilarang
dan
perjanjian
yang
dilarang.
4. Untuk mengetahui asas dan tujuan pasar monopoli.
5. Untuk mengetahui perkembangan persaingan usaha di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian
Pasar Monopoli adalah suatu bentuk pasar di mana hanya terdapat satu penjual yang menguasai pasar. Penentu harga pada pasar ini adalah seorang penjual atau sering disebut sebagai "monopolis". Sebagai penentu harga (price-maker), seorang monopolis dapat menaikan atau mengurangi harga dengan cara menentukan jumlah barang yang akan diproduksi, semakin sedikit barang yang diproduksi, semakin mahal harga barang tersebut, begitu pula sebaliknya. Walaupun demikian, penjual juga memiliki suatu keterbatasan dalam penetapan harga. Apabila penetapan harga terlalu mahal, maka orang akan menunda pembelian atau berusaha mencari atau membuat barang subtitusi (pengganti) produk tersebut.
2. Asas dan Tujuan
Asas
Pelaku usaha di Indonesia dalam menjalankan kegiatan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum.
3
4
Tujuan
Undang-Undang (UU) persaingan usaha adalah Undang-undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU No.5/1999) yang bertujuan untuk memelihara pasar kompetitif dari pengaruh kesepakatan dan konspirasi yang cenderung mengurangi dan atau menghilangkan persaingan. Kepedulian utama dari UU persaingan usaha adalah promoting competition dan memperkuat kedaulatan konsumen.
3.
Kegiatan yang Dilarang
Dalam UU No.5/1999,kegiatan yang dilarang diatur dalam pasal 17
Dalam UU No.5/1999,kegiatan yang dilarang diatur dalam pasal 17
sampai
dengan pasal 24.Undang undang ini tidak memberikan defenisi
kegiatan,seperti
halnya perjanjian. Namun demikian, dari kata “kegiatan”
kita
dapat menyimpulkan bahwa yang dimaksud
dengan kegiatan disini
adalah
aktivitas, tindakan secara sepihak. Bila dalam perjanjian yang
dilarang
merupakan perbuatan hukum dua pihak maka dalam kegiatan
yang
dilarang adalah merupakan perbuatan hukum sepihak.
5
Adapun kegiatan kegiatan yang dilarang tersebut yaitu :
1. Monopoli
Adalah penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha
2. Monopsoni
Adalah situasi pasar dimana hanya ada satu pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha yang menguasai pangsa pasar yang besar yang bertindak sebagai pembeli tunggal,sementara pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha yang bertindak sebagai penjual jumlahnya banyak.
Adalah situasi pasar dimana hanya ada satu pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha yang menguasai pangsa pasar yang besar yang bertindak sebagai pembeli tunggal,sementara pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha yang bertindak sebagai penjual jumlahnya banyak.
3. Penguasaan pasar
Di dalam UU no.5/1999 Pasal 19,bahwa kegiatan yang dilarang dilakukan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya penguasaan pasar yang merupakan praktik monopoli atau persaingan usaha tidak sehat yaitu :
a. menolak dan atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan
Di dalam UU no.5/1999 Pasal 19,bahwa kegiatan yang dilarang dilakukan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya penguasaan pasar yang merupakan praktik monopoli atau persaingan usaha tidak sehat yaitu :
a. menolak dan atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan
kegiatan
usaha yang sama pada pasar yang bersangkutan;
6
b. menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaingnya untuk
tidak
melakukan hubungan
usaha dengan pelaku usaha
pesaingnya;
c. membatasi peredaran dan atau penjualan barang dan atau jasa pada
c. membatasi peredaran dan atau penjualan barang dan atau jasa pada
pasar
bersangkutan;
d. melakukan praktik diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu.
d. melakukan praktik diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu.
4. Persekongkolan
Adalah bentuk kerjasama yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha lain dengan maksud untuk menguasai pasar bersangkutan bagi kepentingan pelaku usaha yang bersekongkol (pasal 1 angka 8 UU No.5/1999).
5. Posisi Dominan
Artinya pengaruhnya sangat kuat, dalam Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 menyebutkan posisi dominan merupakan suatu keadaan dimana pelaku usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti
Adalah bentuk kerjasama yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha lain dengan maksud untuk menguasai pasar bersangkutan bagi kepentingan pelaku usaha yang bersekongkol (pasal 1 angka 8 UU No.5/1999).
5. Posisi Dominan
Artinya pengaruhnya sangat kuat, dalam Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 menyebutkan posisi dominan merupakan suatu keadaan dimana pelaku usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti
di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan bangsa yang dikuasai atau pelaku usaha mempunyai posisi tertinggi diantara pesaingnya di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan kemampuan keuangan, kemampuan akses pada pasokan, penjualan, serta kemampuan untuk menyesuaikan pasokan dan permintaan
barang atau jasa tertentu.
7
6. Jabatan Rangkap
Dalam Pasal 26 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dikatakan bahwa seorang yang menduduki jabatan sebagai direksi atau komisaris dari suatu perusahaan, pada waktu yang bersamaan dilarang merangkap menjadi direksi atau komisaris pada perusahaan lain.
7. Pemilikan Saham
Berdasarkan Pasal 27 Undang - Undang Nomor 5 Tahun 1999 dikatakan bahwa pelaku usaha dilarang memiliki saham mayoritas pada beberapa perusahaan sejenis, melakukan kegiatan usaha dalam bidang sama pada saat bersangkutan yang sama atau mendirikan beberapa perusahaan yang sama.
8. Penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan
Dalam Pasal 28 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, mengatakan bahwa pelaku usaha yang berbadan hukum maupun yang bukan berbadan hukum yang menjalankan perusahaan bersifat tetap dan terus menerus dengan tujuan mencari keuntungan.
Berdasarkan Pasal 27 Undang - Undang Nomor 5 Tahun 1999 dikatakan bahwa pelaku usaha dilarang memiliki saham mayoritas pada beberapa perusahaan sejenis, melakukan kegiatan usaha dalam bidang sama pada saat bersangkutan yang sama atau mendirikan beberapa perusahaan yang sama.
8. Penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan
Dalam Pasal 28 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, mengatakan bahwa pelaku usaha yang berbadan hukum maupun yang bukan berbadan hukum yang menjalankan perusahaan bersifat tetap dan terus menerus dengan tujuan mencari keuntungan.
8
4. Perjanjian yang
Dilarang
1. Oligopoli
Adalah keadaan pasar dengan produsen dan pembeli barang
1. Oligopoli
Adalah keadaan pasar dengan produsen dan pembeli barang
hanya berjumlah sedikit, sehingga mereka atau seorang dari
mereka
dapat mempengaruhi
harga pasar.
2. Penetapan harga
Dalam rangka penetralisasi pasar, pelaku usaha dilarang membuat
2. Penetapan harga
Dalam rangka penetralisasi pasar, pelaku usaha dilarang membuat
perjanjian,
antara lain :
a. Perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga
a. Perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga
atas
barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh
konsumen atau
pelanggan pada pasar bersangkutan
yang sama ;
b. Perjanjian yang mengakibatkan pembeli yang harus membayar dengan
b. Perjanjian yang mengakibatkan pembeli yang harus membayar dengan
harga
yang berbeda dari
harga yang
harus dibayar
oleh pembeli lain
untuk
barang dan atau jasa yang sama ;
c. Perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga di
c. Perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga di
bawah
harga pasar ;
d. Perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa
d. Perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa
penerima
barang dan atau jasa tidak menjual atau memasok kembali
barang
dan atau
jasa yang
diterimanya dengan
harga lebih rendah
daripada
harga yang telah dijanjikan.
9
3. Pembagian wilayah
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha
pesaingnya yang bertujuan untuk membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar terhadap barang dan atau jasa.
4. Pemboikotan
Pelaku usaha dilarang untuk membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang dapat menghalangi pelaku usaha lain untuk melakukan usaha yang sama, baik untuk tujuan pasar dalam negeri maupun pasar luar negeri.
5. Kartel
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa.
6. Trust
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk melakukan kerja sama dengan membentuk gabungan perusahaan atau perseroan yang lebih besar, dengan tetap menjaga dan mempertahankan kelangsungan hidup tiap-tiap perusahaan atau perseroan anggotanya, yang bertujuan untuk mengontrol produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa.
Pelaku usaha dilarang untuk membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang dapat menghalangi pelaku usaha lain untuk melakukan usaha yang sama, baik untuk tujuan pasar dalam negeri maupun pasar luar negeri.
5. Kartel
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa.
6. Trust
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk melakukan kerja sama dengan membentuk gabungan perusahaan atau perseroan yang lebih besar, dengan tetap menjaga dan mempertahankan kelangsungan hidup tiap-tiap perusahaan atau perseroan anggotanya, yang bertujuan untuk mengontrol produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa.
10
7. Oligopsoni
Keadaan dimana dua atau lebih pelaku usaha menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal atas barang dan/atau jasa dalam suatu pasar komoditas.
8. Integrasi vertikal
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk menguasai produksi sejumlah produk yang termasuk dalam rangkaian produksi barang dan atau jasa tertentu yang mana setiap rangkaian produksi merupakan hasil pengelolaan atau proses lanjutan baik dalam satu rangkaian langsung maupun tidak langsung.
9. Perjanjian tertutup
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa hanya akan memasok atau tidak memasok kembali barang dan atau jasa tersebut kepada pihak tertentu dan atau pada tempat tertentu.
10. Perjanjian dengan pihak luar negeri
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak luar negeri yang memuat ketentuan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
11
5. Komisi Pengawasan Persaingan Usaha
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) adalah sebuah lembaga independen di Indonesia yang dibentuk untuk memenuhi amanat Undang-Undang no. 5 tahun 1999 tentang larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) adalah sebuah lembaga independen di Indonesia yang dibentuk untuk memenuhi amanat Undang-Undang no. 5 tahun 1999 tentang larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.
6. Sanksi dalam Antimonopoli dan Persaingan Usaha
Pasal 36 UU Anti Monopoli, salah satu wewenang KPPU adalah melakukan penelitian, penyelidikan dan menyimpulkan hasil penyelidikan mengenai ada tidaknya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Masih di pasal yang sama, KPPU juga berwenang menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar UU Anti Monopoli. Apa saja yang termasuk dalam sanksi administratif diatur dalam Pasal 47 Ayat (2) UU Anti Monopoli. Meski KPPU hanya diberikan kewenangan menjatuhkan sanksi administratif, UU Anti Monopoli juga mengatur mengenai sanksi pidana. Pasal 48 menyebutkan mengenai pidana pokok. Sementara pidana tambahan dijelaskan dalam Pasal 49.
Pasal 36 UU Anti Monopoli, salah satu wewenang KPPU adalah melakukan penelitian, penyelidikan dan menyimpulkan hasil penyelidikan mengenai ada tidaknya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Masih di pasal yang sama, KPPU juga berwenang menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar UU Anti Monopoli. Apa saja yang termasuk dalam sanksi administratif diatur dalam Pasal 47 Ayat (2) UU Anti Monopoli. Meski KPPU hanya diberikan kewenangan menjatuhkan sanksi administratif, UU Anti Monopoli juga mengatur mengenai sanksi pidana. Pasal 48 menyebutkan mengenai pidana pokok. Sementara pidana tambahan dijelaskan dalam Pasal 49.
12
Pasal 48
(1) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 4, Pasal 9 sampai dengan Pasal 14, Pasal 16 sampai dengan Pasal 19, Pasal 25, Pasal 27, dan Pasal 28 diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp25.000.000.000 (dua puluh lima miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp100.000.000.000 (seratus miliar rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 6 (enam) bulan.
(2) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 5 sampai dengan Pasal 8, Pasal 15, Pasal 20 sampai dengan Pasal 24, dan Pasal 26 Undang-Undang ini diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp5.000.000.000 ( lima miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp25.000.000.000 (dua puluh lima miliar rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 5 (lima) bulan.
(3) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 41 Undang-undang ini diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp1.000.000.000 (satu miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp5.000.000.000 (lima miliar rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 3 (tiga) bulan.
13
Pasal 49
Dengan menunjuk ketentuan Pasal 10 Kitab Undang-undang Hukum Pidana,
terhadap pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 48 dapat dijatuhkan pidana
tambahan berupa:
a. pencabutan izin usaha
b. larangan kepada pelaku usaha yang telah terbukti melakukan pelanggaran
a. pencabutan izin usaha
b. larangan kepada pelaku usaha yang telah terbukti melakukan pelanggaran
terhadap undang-undang ini
untuk menduduki jabatan direksi atau
komisaris
sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan
selama-lamanya 5 (lima)
tahun;
atau
c. penghentian kegiatan atau tindakan tertentu yang menyebabkan timbulnva
c. penghentian kegiatan atau tindakan tertentu yang menyebabkan timbulnva
kerugian
pada pihak lain.
Aturan ketentuan pidana di dalam UU Anti Monopoli menjadi aneh lantaran tidak
menyebutkan secara tegas siapa yang
berwenang melakukan penyelidikan atau penyidikan dalam konteks pidana.
http://fachmiputrir.blogspot.com/2014/05/makalah-anti-monopoli-dan-persaingan.html diakses
pada tanggal 30 Maret
2015 pukul 11.13 WIB
14
JENIS
MONOPOLI
Ada dua macam monopoli yaitu monopoli alamiah dan yang kedua adalah
monopoli artifisial. Monopoli alamiah lahir karena
mekanisme murni dalam pasar. Monopoli ini lahir
secara wajar dan
alamiah karena kondisi objektif yang dimiliki oleh suatu
perusahaan, yang menyebabkan perusahaan ini unggul dalam pasar tanpa
bisa ditandingi dan dikalahkan secara memadai oleh perusahaan
lain. Dalam jenis monopoli ini, sesungguhnya pasar bersifat terbuka. Karena itu, perusahaan ain
sesungguhnya bebas masuk dalam jenis industri yang sama. Hanya saja, perusahaan
lain tidak mampu menandingi
perusahaan monopolistis tadi sehingga perusahaan yang unggul tadi relatif menguasasi
pasar dalam jenis industri tersebut.
Yang menjadi masalah adalah jenis monopoli
yang kedua, yaitu monopoli artifisial. Monopoli ini lahir
karena persekongkolan atau kolusi politis
dan ekonomi antara pengusaha dan penguasa demi melindungi
kepentingan kelompok pengusaha tersebut. Monopoli
semacam ini bisa lahir karena pertimbangan rasional maupun irasional. Pertimbangan rasional misalnya demi melindungi industri industri dalam negeri, demi memenuhi economic
of scale, dan seterusnya. Pertimbangan yang irasional bisa sangat pribadi
sifatnya dan bisa dari yang samar-samar
dan besar muatan
ideologisnya sampai pada yang kasar dan
terang-terangan. Monopoli ini merupakan suatu
rekayasa sadar yang pada akhirnya akan menguntungkan kelompok yang
15
mendapat monopoli dan merugikan
kepentingan kelompok lain, bahkan kepentingan mayoritas masyarakat.
CIRI – CIRI
PASAR MONOPOLI
Ciri-ciri dari pasar monopol i adalah sebagai berikut:
- Pasar monopoli adalah industri satu perusahaan
Dari definisi monopoli
telah diketahui
bahwa
hanya
ada satu saja perusahaan
dalam industri tersebut. Dengan demikian barang atau
jasa yang dihasilkannya tidak dapat
dibeli dari tempat
lain. Para pembeli tidak mempunyai pilihan lain, kalau mereka menginginkan
barang tersebut maka mereka harus membeli dari perusahaan monopoli tersebut. Syarat-syarat penjualan sepenuhnya
ditentukan
oleh
perusahaan monopoli itu, dan
konsumen tidak dapat berbuat suatu apapun didalam
menentukan syarat jual beli.
- Tidak mempunyai barang pengganti yang mirip
Barang yang dihasilkan perusahaan monopoli tidak dapat
digantikann oleh barag lain yang ada
didalam pasar. Barang-barang tersebut merupakan satu-satunya jenis barang
yang seperti itu dan tidak terdapat barang mirip yang dapat
menggantikan.
16
- Tidak terdapat kemungkinan untuk masuk kedalam industri
Sifat ini merupakan sebab utama
yang menimbulkan perusahaan yang mempunyai kekuasaan monopoli. Keuntungan perusahaan monopoli tidak akan menyebabkan perusahaan-perusahaan
lain memasuki industri tersebut.
- Dapat mempengaruhi penentuan harga
Perusahaan monopoli merupakan satu-satunya penjual didalam pasar, maka
penentuan harga dapat dikuasainya. Oleh sebab itu perusahaan monopoli dipandang sebagai penentu harga.
- Promosi iklan kurang diperlukan
Oleh karena perusahaan monopoli adalah satu-satunya perusahaan
didalam industri, ia tidak perlu mempromosikan barangnya dengan menggunakan iklan. Walau ada yang menggunakan
iklan, iklan tersebut bukanlah bertujuan untuk menarik pembeli, melainkan untuk
memelihara hubungan baik dengan masyarakat.
UNDANG –
UNGANG TENTANG MONOPOLI
Dalam situasi tertentu kita membutuhkan perusahaan
besar dengan kekuatan ekonomi yang besar dalam hal praktek monopoli, oligopoli, suap, harus
dibatasi dan dikendalikan, karena apabila tidak dapat merugikan kepentingan
masyarakat pada umumnya dan kelompok-kelompok
tertentu dalam
17
masyarakat. Maka Indonesiapun
kemudian membuat
sebuah peraturan antimonopoli yaituUndang-undang Republik Indonesia Nomor 5
Tahun 1999 Tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat. Undang-undang ini menerjemahkan
monopoli sebagai suatu tindakan penguasaan atas produksi
dan
atau pemasaran barang dan atau atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku
usaha atau satu kelompok pelaku usaha.
Sedangkan praktik
monopoli pada UU
tersebut dijelaskan sebagai suatu pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau
lebih
pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa
tertentu sehingga menimbulkan persaingan
usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum. UU ini dibagi
menjadi 11 bab
yang terdiri dari beberapa pasal.
https://nenygory.wordpress.com/2011/05/30/kasus-monopoli-yang-dilakukan-oleh-perusahaan-listrik-negara-pt-pln/ diakses pada tanggal 31 Maret 2015
pukul jam 16.22 wib
18
Perkembangan
Persaingan Usaha di Indonesia
Dalam
perkembangan sistem ekonomi Indonesia,
persaingan usaha menjadi salah satu instrument
ekonomi sejak saat reformasi
digulirkan. Sebetulnya sudah sejak lama masyarakat
Indonesia, khususnya para pelaku bisnis, merindukan sebuah undang-undang yang secara
komprehensif mengatur persaingan sehat. Keinginan itu didorong oleh munculnya
praktik-praktik perdagangan yang tidak
sehat,
terutama karena
penguasa sering
memberikan perlindungan ataupun
priveleges kepada para pelaku
bisnis tertentu, sebagai bagian dari praktik-praktik kolusi,
korupsi, kroni, dan
nepotisme. Dikatakan secara komprehensif, karena sebenarnya secara pragmentaris, batasan-batasan yuridis
terhadap praktik-praktik bisnis yang tidak sehat atau curang dapat ditemukan secara tersebar di
berbagai hukum positif. Tetapi karena sifatnya yang sektoral, perundang-undangan tersebut sangat tidak efektif untuk (secara konseptual) memenuhi berbagai indikator sasaran yang ingin dicapai oleh
undang-undang persaingan sehat tersebut.57
Sebuah
undang-undang yang secara khusus mengatur persaingan dan antimonopoli sudah
sejak lama dipikirkan oleh para pakar,
partai politik, lembaga swadaya masyarakat,
serta instansi
pemerintah. Pernah suatu
ketika Partai Demokrasi Indonesia pada tahun 1995
menelurkan konsep Rancangan Undang-undang tentang Antimonopoli.
Demikian pula Departemen Perdagangan yang bekerja sama dengan Fakultas
Hukum
19
Universitas Indonesia pernah membuat naskah akademik Rancangan
Undang-Undang tentang Persaingan Sehat
di Bidang Perdagangan. Namun patut disayangkan karena semua usulan dan
inisiatif tersebut tidak mendapat tanggpada masa-masa itu belum ada komitmen
maupun political will dari elite politik yang berkuasa
untuk mengatur
masalah persaingan
usaha.58
Ada
beberapa alasan mengapa pada waktu itu sulit
sekali suatu Undang-Undang Antimonopoli disetujui oleh Pemerintah, yaitu : 1. Pemerintah
menganut konsep bahwa perusahaan-perusahaan besar perlu
ditumbuhkan
untuk menjadi lokomotif pembangunan. Perusahaan-
perusahaan tersebut hanya mungkin
menjadi besar
untuk kemudian
menjalankan
fungsinya sebagai lokomotif pembangunan apabila diberi
perlakuan khusus. Perlakuan khusus ini,
dalam pemberian proteksi yang
dapat
menghalangi masuknya perusahaan lain dalam bidang usaha
tersebut
atau dengan kata lain mernberikan posisi monopoli; 2.
Pemberian fasilitas monopoli perlu
ditempuh karena perusahaan itu telah
bersedia
menjadi pioner di sektor
yang bersangkutan.
Tanpa fasilitas
monopoli
dan proteksi,
Pemerintah sulit memperoleh kesediaan investor
untuk
menanamkan modalnya di sektor tersebut;
3.
Untuk menjaga berlangsungnya praktik KKN demi
kepentingan kroni
mantan
Presiden Soeharto dan pejabatpejabat yang berkuasa pada waktu
itu.
20
Kebijakan
pembangunan ekonomi yang kita jalankan selama tiga dasawarsa, selain
menghasilkan banyak kemajuan, yang ditunjukkan
oleh pertumbuhan ekonomi yang tinggi, juga masih banyak melahirkan
tantangan atau persoalan pembangunan ekonomi yang belum
terpecahkan.
Di samping itu, ada kecenderungan globalisasi perekonomian
serta dinamika dan
perkembangan usaha swasta sejak awal tahun
1990-an. Peluang-peluang usaha yang telah diciptakan oleh penguasa pada waktu itu dalam
kenyataannya belum membuat
seluruh masyarakat mampu dan dapat berpartisipasi dalam pembangunan di berbagai
sektor ekonomi.
Perkembangan usaha swasta,
di satu sisi diwarnai oleh berbagai
bentuk kebijakan penguasa yang kurang tepat, sehingga pasar menjadi
terdistorsi. Di sisi lain, sebagian
besar perkembangan usaha swasta pada kenyataannya merupakan perwujudan
dari kondisi
persaingan usaha yang
tidak sehat atau curang. Fenomena yang demikian telah berkembang dan didukung
oleh adanya hubungan antara pengambil keputusan dan para
pelaku usaha, baik secara langsung maupun tidak langsung. Keadaan ini makin memperburuk keadaan. Penyelenggaraan ekonomi
nasional kurang memperhatikan amanat
Pasal 33 Undang-Undang
Dasar 1945, serta cenderung menunjukkan corak yang sangat
monopolistik.Para pengusaha yang dekat dengan
elite kekuasaan mendapatkan kemudahan-kemudahan yang
berlebihan, sehingga menimbulkan kesenjangan sosial.
21
Munculnya konglomerasi dan sekelompok kecil pengusaha
kuat yang tidak didukung oleh semangat
kewirausahaan sejati merupakan salah satu factor yang mengakibatkan ketahanan ekonomi menjadi sangat rapuh dan tidak mampu bersaing.
Padahal dalam era pasar
bebas nanti, kita dituntut untuk mampu
bersaing dengan mengandalkan kekuatan sendiri. Lebih ironis
lagi,
perilaku
dari pelaku-pelaku bisnis kita, yaitu para konglomerat
yang telah memperoleh perlakuan istimewa dari penguasa
tersebut, ternyata sangat tidak bertanggung
jawab, dan tidak
mau berbuat
positif untuk
memperbaiki
kondisi ekonomi nasional yang sangat parah.
Kondisi semacam ini mengharuskan
pemerintah mencari bantuan dari donor-donor lain, baik yang bersifat kolektif maupun negara per negara. Ketergantungan pada bantuan asing, ini mengharuskan
pemerintah mengikuti berbagai persyaratan yang disepakati
bersama;
semuanya meletakkan Indonesia pada posisi
yang lemah. Walau
demikian, dalam hal-hal tertentu, banyak hal yang
berkaitan dengan persyaratan utang luar negeri itu yang
mengandung hikmah,
yaitu mengakselerasi pembuatan undang-undang yang sebenarnya
sudah lama didambakan, yang dalam kondisi normal tidak akan
dibentuk
pada umumnya ini telah terjadwal di antara Indonesia dengan
IMF.60
22
Di
samping merupakan tuntutan nasional,
Undang-Undang Persaingan Usaha (Fair Competition Law) juga merupakan tuntutan atau kebutuhan
rambu-rambu yuridis dalam hubungan bisnis antar bangsa. Dari sisi kehidupan nasional jelas bahwa basis
kultural (asas kekeluargaan) dan konstitusional (demokrasi ekonomi) kita memang
sama sekali
menolak prakrik-praktik monopolistic dalam kehidupan
ekonomi yang merugikan rakyat. Dari sisi hubungan antar bangsa pun, apalagi dengan munculnya fenomena globalisasi
ekonomi
yang
mengandung makna, semakin meningkatnya ketergantungan antar bangsa di berbagai bidang kehidupan (ekonomi), mengharuskan berbagai
bangsa menaati rambu-rambu (peraturan) baku dalam bisnis antar bangsa,
sebagai konsekuensi WTO,APEC,
AFTA, NAFTA, EC, dan lain sebagainya.61
Sebab,
para ahli banyak yang mengatakan, adanya kondisi persaingan (the
state of competition) dalam pasar domestic merupakan
hal yang sangat
penting dari suam kebijakan public (public
policy),
khususnya untuk mengukur kemampuan
bangsa dalam bersaing
di pasar internasional,
serta untuk meyakinkan investor dan eksportir asing untuk
bersaing dalam pasar domestik.
Dengan
demikian tujuan dari
kebijakan persaingan nasional adalah untuk menciptakan dan memastikan bahwa konsep persaingan dapat dijalankan dalam kerangka
ekonomi pluralistik. Konsep dasar kompetitif
ini pun pada
23
dasarnya
mengandung unsur HAM
yang kental, karena di dalamnya terkait
"pemajuan" (promotion) dari kondisi persaingan (condition of rivalry)
dan "kebebasan memilih" (freedom
of choose) untuk mengurangi dan melarang konsentrasi kekuatan-kekuatan ekonomi. 62
Untuk itulah, akhirnya harus ada
campur tangan negara (government regulation) untuk mengembangkan
dan
memelihara kondisi persaingan. Bahkan globalisasi menciptakan atmosfer yang kondusif untuk persaingan yang menembus
batas-batas negara, yang membutuhkan
harmonisasi kebijakan yang sering
dinamakan "super national of regional standards". Bahkan
Masyarakat Ekonomi Eropa(EC) juga masih terus mengembangkan
apa yang dinamakan "Minimum Competition Policy Requirements
Within the Framework of the GATT". Di lingkungan ASEAN
pun, tanpa mengesampingkan divergensi
struktur
institusional ekonomi, politik, dan sosial, para ahli sudah
mulai berpikir tentang perlunya
pengembangan di samping hukum
persaingan nasional dan harmonisasi peraturan-peraturan komersial, termasuk
hukum persaingan di antara masyarakat ASEAN.63
Doktrin
yang berlaku pada masa
lalu, yang secara absolute
menyatakan bahwa hukum ekonomi
itu bersifat value loaded, yang
dekat dengan kondisi sosial budaya bangsa, tidak sepenuhnya
dapat dipertanggungjawabkan dalam kaitannya dengan
proses globalisasi. Konsep harmonisasi hukum dan keberadaan fenomena
internasionalisasi pasar menumbuhkan perhatian yang semakin intensif terhadap apa
yang dinamakan international
dimension
24
of
antitrust and the
fit between competition policy and
the world trading system. Dalam
kerangka ini, muncul antitrust family (international) link
ages of market economies. 64
http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/29351/Chapter%20II.pdf;jsessionid=F6F46E183DC62E61DA0F70DC1E6DDACF?sequence=3 diakses pada
tanggal 01 April 2015 pukul jam 10.47 wib.
Pengertian
persaingan
Apakah
persaingan ini baik atau tidak bagi suatu usaha, sangat tergantung
kepada kemampuan pengusahanya.3
Menurut Kasmir pesaing adalah perusahaan yang menghasilkan atau menjual
barang atau jasa yang sama atau mirip dengan produk yang kita tawarkan.4
Persaingan
usaha sendiri dalam kamus manajemen
dapat diartikan sebagai suatu kegiatan
bersaing/ bertanding diantara pengusaha/ pebisnis yang satu dengan pengusaha/ pebisnis lainnya
didalam memenangkan pasar (share market) dalam upaya
melakukan penawaran produk barang dan jasa kepada
konsumen
dengan
berbagai strategi
pemasaran yang diterapkannya. Persaingan usaha terdiri atas:
a.
Persaingan sehat (healthy
competition)
Istilah
ini menegaskan yang ingin
di jamin adalah terciptanya
persaingan yang sehat. Dengan melihat beberapa istilah di atas dapat dikatakan bahwa apapun istilah yang di
pakai, semuanya berkaitan tiga hal yaitu
:
1) Pencegahan atau peniadaan praktek
monopoli
25
2) Menjamin persaingan yang sehat
3)
Melarang persaingan yang tidak jujur
b.
Persaingan tidak sehat (unfair competition)
Persaingan
usaha tidak sehat adalah persaingan antar pelaku usaha
dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran
barang dan atau jasa yang dilakukan
dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau
menghambat persaingan usaha.
Menurut
teori
persaingan sempurna ekonomi klasik, pasar
terdiri atas sejumlah produsen dan konsumen kecil yang
tidak menentu. Kebebasan masuk dan keluar, kebebasan
memilih teknologi dan metode produksi, serta kebebasan dan ketersediaan informasi, semuanya dijamin oleh pemerintah.
Dalam
keadaan pasar seperti
ini, dituntut adanya teknologi yang efisien, sehingga pelaku pasar akan dapat
bertahan hidup.5
5 Muhammad, Ekonomi
Mikro dalam Perpektif Islam, (Yogyakarta: BPFE, Cet: I, 2004), h.lm
371
Namun
sistem ekonomi seperti ini,
dituduh oleh kaum sosialis hanya memelindungi pemilik faktor produksi.
Sehingga ada tudingan bahwa kaum
kapitalis telah membuat
keputusan ekonomi yang mengejar
kepentingan individu, menekankan tingkat
upah yang minimal, dan mendorong pengambilan keuntungan
yang sebesar-besarnya, mengkonsentrasikan
26
ekonomi
pada
sebagian kecil orang saja. Selanjutnya, sistem ekonomi pasar bebas juga telah
membawa kepada ketidak stabilan dalam aktivitas ekonomi dan perputaran usaha.6 Persaingan sering dikonotasikan negatif karena dianggap
mementingkan
kepentingan sendiri.
Walaupun pada kenyataannya seorang
manusia,
apakah
pada kapasitasnya
sebagai individual maupun anggota
suatu organisasi, secara ekonomi tetap akan
berusaha mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Alfred Marshal, seorang ekonomi terkemuka sampai mengusulkan
agar istilah persaingan digantikan dengan istilah “economic freedom” (kebebasan ekonomi) dalam menggambarkan atau mendukung tujuan
positif dari proses persaingan. Oleh sebab itu pengertian
kompetisi atau persaingan usaha dalam pengertian
yang
positif dan independent sebagai jawaban terhadap upaya dalam segi keuntungan
untuk menarik pembeli agar mencapai untung.7
6 Ibid., hlm. 372.
7 Ningrum Natasya Sirait,
Hukum Persaingan di Indonesia, selanjutnya
disebut sebagai Ningrum Natasya II,
Pustaka Bangsa Press, Medan, 2004, hal 1
Dalam
konsepsi persaingan usaha, dengan
asumsi bahwa faktor yang mempengaruhi harga adalah permintaan dan penawaran,persaingan usaha akan dengan sendirinya menghasilkan barang atau jasa yang memiliki daya saing yang baik, melalui mekanisme produksi
yang efesien
dan efektif,
27
dengan
mempergunakan seminimum mungkin
faktor-faktor produksi yang ada. Dalam sistem ekonomi pasar yang
demikian, persaingan memiliki beberapa pengertian :
1) Persaingan menunjukkan banyaknya
pelaku usaha yang
menawarkan atau memasok barang atau jasa tertentu
ke pasar yang bersangkutan.
Banyak sedikitnya pelaku usaha yang menawarkan
barang atau jasa ini menunjukkan struktur pasar (market
structure) dari barang atau jasa tersebut. 2) Persaingan merupakan suatu proses
dimana masing-masing perusahaan berupaya memperoleh
pembeli atau pelanggan bagi produk yang dijualnya, antara lain dapat
dilakukan dengan: 8 a)
Menekan harga (price competition); b)
Persaingan bukan harga (non-price competition), misalnya yang dilakukan
melalui diferensiasi produk, pengembangan hak atas kekayaan
intelektual, promosi, pelayanan purna jual, dan lain-lain; c) Berusaha secara lebih efisien atau tepat guna dan waktu
(low cost-production).
8 Gunawan
Widjaja, Merger dalam Persfektif Monopoli, Jakarta , PT. Raja Grafindo
Perkasa, 1999, hal 10
9 Peraturan
presiden RI.112, Penataan dan Pembinaan pasar tradisional,pusat ,perbelanjaan
dan toko modern, 2007.
http://eprints.walisongo.ac.id/3575/3/092411001_Bab2.pdf diakses pada tanggal 01 April 2015
pada jam 14.05 wib.
BAB III
ANALISIS DAN KESIMPULAN
Kasus
Monopoli Perusahaan Listrik Negara
Komisi Pengawas
Persaingan Usaha (KPPU) mengakui adanya dugaan pelanggaran UU
No.5/1999 tentang Larangan
Praktek Monopoli
dan Persaingan Usaha Tidak Sehat oleh PT PLN (Persero) apabila BUMN
sektor listrik itu meneruskan kebijakan capping untuk TDL sektor
industri. KPPU akan mengkaji sesuai dengan prosedur
lewat pemeriksaan selanjutnya. Kemungkinan pasal yang akan
dikaji KPPU ialah pasal 19d di dalam Undang-Undang Nomor 5/1999
yang mengatur
masalah diskriminasi terkait
penerapan tarif terhadap para pelaku
industri.Untuk itu, KPPU akan segera menelisik data-data PLN untuk melihat siapa saja pelanggan industri yang menikmati capping
dengan yang tidak. Sementara ini, KPPU
mengakui pada 2010 memang terdapat perbedaan tarif untuk
golongan-golongan industri. Untuk golongan industry kecil atau
rumah tangga yang dikenakan capping
diganjar Rp803 per KWh. Sementara yang tidak kena capping dikenakan Rp916 per KWh. Sehingga ada disparitas
harga sekitar Rp113 per KWh.
Sementara untuk golongan menengah berkapasitas tegangan menengah berbeda Rp667 per
KWh apabila dikenakan capping dan Rp731 KWh untuk yang tidak. Perbandingan bagi industri yang memakai capping
dengan yang
28
29
tidak, untuk tegangan menengah sebesar 23%. Untuk golongan tarif untuk keperluan industry besar, mereka yang dikenakan capping
harus membayar sebesar Rp594 per KWh
sementara yang tidak menjadi
Rp605 per KWh (disparitas harga Rp11
per KWh). Berdasarkan indikasi-indikasi tersebut,
KPPU akan segera melakukan pemeriksaan sesuai prosedur
yang ada berdasarkan surat yang masuk ke pihaknya
pada 11 Januari silam.
KPPU juga akan panggil pihak yang selama ini
diuntungkan dengan tarif lebih rendah atau yang iri terhadap
perbedaan harga karena mereka dikenakan
beban yang lebih tinggi
dibanding yang lain. Selain itu, mereka juga akan memanggil Pemerintah dan Kementerian Keuangan dan Dirjen
Listrik Kementerian ESDM untuk
meminta pandangan dari mereka
dan akan membuktikan di lapangan misalnya cek kuitansi supaya ada fakta dan data hukum tidak
hanya data statistik[1].
Fungsi PT. PLN
sebagai pembangkit, distribusi, dan transmisi listrik sebenarnya sudah mulai dipecah. Swasta diizinkan berpartisipasi dalam upaya pembangkitan tenaga listrik. Sementara untuk distribusi dan
transmisi tetap ditangani PT. PLN. Saat ini telah ada 27 Independent Power Producer
di Indonesia. Mereka termasuk Siemens, General Electric, Enron, Mitsubishi,
Californian Energy, Edison Mission Energy,
Mitsui & Co,
Black & Veath Internasional, Duke Energy, Hoppwell
Holding, dan masih banyak lagi. Tetapi
30
dalam menentukan harga listrik
yang harus dibayar masyarakat tetap ditentukan oleh PT. PLN sendiri.
Krisis listrik kemudian juga memuncak saat PT. Perusahaan Listrik Negara (PT. PLN)
memberlakukan pemadaman listrik secara bergiliran
di berbagai wilayah termasuk Jakarta dan sekitarnya, selama periode 11-25 Juli 2008. Hal ini diperparah
oleh pengalihan jam operasional kerja industri ke hari Sabtu dan Minggu,
sekali sebulan. Semua industri di Jawa-Bali
wajib
menaati, dan sanksi bakal dikenakan bagi industri yang membandel. Dengan alasan
klasik, PLN berdalih pemadaman dilakukan akibat defisit daya listrik yang semakin parah
karena adanya gangguan pasokan batubara pembangkit utama di sistem kelistrikan
Jawa-Bali,
yaitu di pembangkit Tanjung Jati, Paiton Unit 1
dan 2, serta Cilacap. Namun, di saat yang
bersamaan terjadi juga permasalahan serupa untuk pembangkit berbahan bakar minyak (BBM) PLTGU Muara Tawar
dan PLTGU Muara Karang.
Akibat dari PT. PLN yang memonopoli kelistrikan nasional, kebutuhan listrik masyarakat sangat bergantung
pada PT. PLN, tetapi mereka sendiri tidak mampu secara merata dan adil memenuhi kebutuhan listrik masyarakat. Banyak daerah-daerah yang kebutuhan
listriknya belum terpenuhi dan juga
sering terjadi pemadaman listrik secara sepihak. Kejadian ini menyebabkan
31
Kerugian yang tidak sedikit bagi masyarakat, dan investor menjadi enggan untuk berinvestasi.
Analisis
Kasus
Kelistrikan di
Indonesia adalah bentukan sejarah, keadaan geografis, dan keteresediaan sumber daya alam dari zaman dahulu. Dalam perjalanannya,
pemerintah selalu mengambil peran yang sempurna dalam penyediaan listrik bagi
rakyat yang didasarkan pada Pasal 33 UUD 1945. Meskipun pada masa pemerintahan Kolonial Belanda dan setelah
kemerdekaan telah ada perusahaan swasta komersial
yang memproduksi listrik, namun
pemerintah nasional mengambil peranan
dalam pembangunan sektor ini
selama 50 tahun terakhir. Perusahaan Umum Listrik
Negara yang didirikan pada 1950 telah menjadi pemain kunci dalam cepanya pembangunan sektor
kelistrikan. Data statistik menunjukkan bahwa PLN adalah salah satu perusahaan listrik
terbesar di dunia dengan total pelanggan 22 juta
dan lebih dari 50.000
karyawan serta hampir seluruh bagian masyarakat adalah stakeholders
bagi PLN.[2]
PLN berdiri dilandaskan pada UU
No. 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan dan pada tahun 2002
UU No.15 Tahun 1985 dinyatakan tidak
berlaku oleh UU No. 20 Tahun 2002. Namun kemudian melalui Putusan MK No
001-021-022/PUU-I/2003 yang dibacakan pada hari Rabu tanggal 15
32
Desember 2004 menyatakan bahwa UU No. 20 Tahun 2002 tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat. Permasalahan inti dari persoalan UU No. 20
Tahun 2002 adalah pada Pasal 16, 17 dan 68 yang menjiwai dari UU
ketenagalistrikan tersebut. Pasal 16 menyatakan bahwa usaha penyediaan tenaga listrik dilakukan secara terpisah oleh Badan
Usaha yang berbeda. Pasal 17 menyatakan
bahwa
usaha pembangkitan listrik dilakukan berdasarkan kompetisi dan dilarang
menguasai pasar. Larangan penguasaan pasar ini meliputi
segala tindakan yang dapat mengakibatkan
terjadinya praktek monopoli dan
persaingan usaha tidak sehat antara lain:
1. menguasai
kepemilikan;
2. menguasai
sebagian besar kapasitas terpasang pembangkitan tenaga listrik dalam satu
wilayah kompetisi;
3. menguasai
sebagian besar kapasitas pembangkitan tenaga listrik pada posisi beban puncak;
4. menciptakan
hambatan masuk pasar bagi Badan Usaha lainnya;
5. membatasi
produksi tenaga listrik dalam rangka mempengaruhi pasar;
6. melakukan
praktik diskriminasi;
7. melakukan
jual rugi dengan maksud menyingkirkan usaha pesaingnya;
8. melakukan
kecurangan usaha; dan/atau
9. melakukan
persekongkolan dengan pihak lain.
33
Sedangkan Pasal
68 menyatakan bahwa Pada saat
Undang-undang ini berlaku, terhadap Pemegang
Kuasa
Usaha Ketenagalistrikan
(PKUK) sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun
1985 tentang Ketenagalistrikan dianggap
telah memiliki izin yang terintegrasi secara vertikal yang meliputi pembangkitan, transmisi, distribusi, dan penjualan tenaga listrik dengan tetap melaksanakan tugas dan kewajiban penyediaan tenaga listrik untuk
kepentingan umum sampai dengan dikeluar-kannya Izin Usaha
Penyediaan Tenaga Listrik berdasarkan Undang-undang ini.
Keputusan MK dalam
hal ini menyatakan bahwa Pasal 16, 17 ayat (3), serta 68 UU No. 20 Tahun
2002 tentang
Ketenagalistrikan berlawanan dengan UUD 1945 dan oleh
karenanya harus dinyatakan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat. Meskipun yang berlawanan hanya tiga pasal tersebut, akan tetapi karena pasal-pasal
tersebut merupakan jantung dari UU No.20 Tahun 2002
padahal
seluruh paradigma yang mendasari
UU Ketenagalistrikan adalah kompetisi
atau persaingan dalam pengelolaan dengan sistem unbundling dalam ketenagalistrikan tidak sesuai dengan
jiwa dan semangat Pasal 33 ayat (2) UUD 1945 yang merupakan
norma dasar perekonomian nasional Indonesia. MK berpendapat bahwa cabang
produksi dalam Pasal 33 ayat
(2) UUD 1945
di bidang ketenagalisrikan harus ditafsirkan sebagai satu kesatuan antara pembangkit transmisi dan
distribusi
34
sehingga dengan
demikian meskipun hanya pasal,
ayat, atau bagian dari ayat tertentu saja
dalam undang-undang aquo yang dinyatakan
tidak mempunyai kekuatan
hukum mengkiat
akan tetapi hal tersebut
mengakibatkan UU No.20 Tahun 2002 secara
keseluruhan tidak dapat
dipertahankan, karena akan menyebabkan kekacauan yang menimbulkan
ketidakpastian hukum dalam penerapannya.
Dalam siaran Pers Koalisi Masyarakat Anti Kenaikan
Harga sebagai pihak yang mengajukan Judicial Review atas UU No. 20 Tahun 2002 menyatakan bahwa dalam UU No. 20 Tahun 2002 terlihat
bahwa negara tidak lagi bertanggung jawab terhadap
penyelenggaraan usaha penyediaan
tenaga listrik untuk kepentingan umum dan tidak ada lagi ketentuan
yang menyebutkan agar harga listrik
terjangkau oleh masyarakat
sebagaimana semula ditetapkan dalam UU
No. 15 Tahun 1985 terlebih lagi harga listrik diserahkan kepada pasar sehingga
tidak mempertimbangkan daya beli atau kondisi sosial ekonomi
masyarakat. Hal ini sangat
merugikan kepentingan bangsa, negara dan
rakyat Indonesia (merugikan kepentingan publik).
Akibat adanya pertentangan antara UU
No.20 Tahun 2002 dengan UUD
Pasal 33, menimbulkan dampak yang merugikan kepentingan
bangsa, Negara dan masyarakat (publik) Indonesia, PLN juga terkena dampaknya. PLN yang selama ini merupakan
satu-satunya BUMN yang mengelola sektor
35
ketenagalistrikan dan telah memberikan sumbangsih bagi bangsa, Negara, dan masyarakat yang telah
menjalankan fungsi untuk menyediakan
tenaga listrik bagi seluruh masyarakat Indonesia dengan harga terjangkau
dan juga telah memberikan peran yang besar
bagi perekenomian nasional, berdasarkan UU No. 20 tahun 2002 tidak lagi
merupakan cabang produksi yang penting yang menguasai
hajat hidup orang banyak.
Akibatnya, tidak adanya jaminan dan kepastian bagi seluruh masyarakat untuk memperoleh
tenaga listrik
dengan harga terjangkau
dan
justru
akan
merugikan perekonomian Negara yang pada akhirnya akan mengurangi tingkat kesejahteraan dan kemakmuran
rakyat
Indonesia. Bahkan dapat
pula mengganggu keamanan negara dan kedaulatan negara karena negara
tidak lagi berkewajiban mengelola cabang produksi terpenting untuk kepentingan
dan kemakmuran rakyat.
Putusan MK ini sejalan dengan pengalaman
dunia akan tenaga kelistrikan yang telah membuktikan bahwa keberhasilan
restrukturisasi sector tenaga listik adalah mitos belaka. Sejumlah negara baik negara maju dan berkembang telah menerapkan
restrukturisasi namun memberikan hasil yang serupa yaitu kenaikan tarif
listrik, terjadinya pemadaman, menurunnya tingkat kehandalan, penguasaan sektor
listrik oleh sebagian kecil perusahaan energi multinasional dan kegagalan negara melindungi
kepentingan ekonomi dan kepentingan
masyarakat.
36
Secara ekonomi, iklim kompetensi dan persaingan yang sehat dapat menghemat miliaran atau bahkan terilyunan rupiah uang konsumen
yang harus dibayarakan ke produsen karena harga yang tidak wajar (overcharge)
sebagai akibat kenaikan harga yang artifisial. Secara umum, terdapat beberapa manfaat yang didapat perekonomian jika pada sektor
ketenagalistrikan terjadi kompetisi dan persaingan yang sehat, di antaranya
adalah:
- Harga yang wajar dilihat dari kualitas.
Dalam iklim persaingan, produsen akan berlomba-lomba menarik konsumen dengan menurunkan harga dan
meningkatkan kualitas
barang/jasa yang dijualnya. Hanya barang/jasa dengan harga
yang rendah dengan kualitas
terbaik yang akan dibeli oleh konsumen.
- Konsumen memiliki banyak pilihan dalam membeli barang/jasa.
Pasar yang kompetitif akan menghasilkan barang/jasa
yang
ditawarkan pelaku usaha dengan
pilihan harga dan
kualitas yang bervariasi. Setiap konsumen pada dasarnya memiliki daya beli dan selera yang berbeda-beda.
Karakteristik konsumen untuk memproduksi
barang/jasa sesuai dengan
kemampuan dan keinginan konsumen. Produsen dituntut
untuk sensitif terhadap daya beli dan
perubahan selera konsumen.
Pelaku usaha yang
37
tidak tanggap
terhadap perubahan
daya beli dan
perubahan
selera konsumen lambat laun akan
tersingkir di pasar.
- Persaingan memungkinkan timbulnya inovasi.
Persaingan usaha akan merangsang pelaku usaha berlomba-lomba
membuat inovasi, baik inovasi
produk untuk memenuhi selera
konsumen, inovasi teknologi maupun inovasi metode produksi
yang lebih efisien. Inovasi akan terus berkembang
karena dalam pasar yang bersaing hanya pelaku usaha
inovatif yang dapat
bertahan dan bersaing. Terkait dengan sector ketenagalistrikan, jika ada pesaing
lain bagi PLN, tentunya akan mendorong PLN berpikir dan melakukan
yang terbaik
dalam menentukan harga dan
memberikan pelayanan. Hal ini secara positif akan mendorong PLN pada efisiensi kinerja dan inovasi teknologi.
Namun, kompetisi yang dikehendaki
agar dapat tercapai suatu iklim usaha yang sehat tidak
dapat dilakukan dalam bidang
ketenagalistrikan. Hal ini dikarenakan segmen yang
bersifat monopoli alamiah tidak dikompetisikan dan diprioritaskan untuk dikelola oleh BUMN. Pada dasarnya
usaha penyediaan ketenagalistrikan dilakukan
secara monopoli, harga jual juga tetap dilakukan oleh Pemerintah Pusat atau
Pemerintah Daerah berdasarkan kewenangan dalam member i
izin tersebut. Meskipun demikian
usaha penyediaan ketenagalistrikan juga
dapat dilakukan secara terintegrasi atau
38
satu jenis usaha saja. Namun karena PLN adalah Badan Usaha Milik Negara
(BUMN) maka diberi
hak untuk
diprioritaskan dalam
memenuhi ketenagalistrikan. Dengan demikian
ketersediaan listrik sesungguhnya merupakan tugas Pemerintah untuk
menenuhinya. Keterlibatan swasta dalam penguasaan listrik tidak dapat
dilakukan melalui mekanisme pasar dikarenakan ketenagalistrikan merupakan sektor yang unik
dan perlu penanganan khusus demi
untuk tersedianya listrik yang relatif murah bagi seluruh rakyat
Indonesia.
Oleh karena itu, secara hukum masih terdapat berbagai perdebatan, apakah usaha yang dilakukan
oleh
PLN adalah tindakan
monopoli yang diperbolehkan atau tidak. Namun melihat dari kerugian yang diterima oleh masyarakat, seharusnya tindakan
monopoli ini tidak boleh dilakukan. Kerugian ini diduga karena kurang optimalnya kinerja PLN dalam penyedia listrik masyarakat. Sedangkan dari segi
persaingan usaha, monopoli yang dilakukan PLN merupakan persaingan usaha yang tidak sehat karena mulai
adanya pihak swasta yang
juga menyediakan tenaga listrik di Indonesia. Persaingan ini dianggap
sehat
apabila
PLN tidak menghalangi usaha perusahaan listrik swasta lainnya untuk menyediakan listrik bagi masyarakat,
sedangkan dalam hal ini PLN
malahan menghalangi perusahaan lain
untuk bersaing di bidang ketenagalistrikan ini.
39
3. KESIMPULAN
PT. Perusahaan Listrik Negara (Persero) telah
melakukan tindakan monopoli, yang menyebabkan
kerugian pada masyarakat.Tindakan PT. PLN ini telah melanggar Undang-undang
Republik
Indonesia
Nomor 5 Tahun 1999
Tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak
Sehat. Namun, monopoli yang dilakukan
oleh PLN dalam sektor ketenagalistrikan memiliki landasan
yuridis yang kuat yakni melalui konstruksi hukum Pasal 33 UUD 1945, UU Ketenagalistrikan. Hanya saja, PLN belum mampu
menunjukkan kinerjanya secara optimal
sehingga belum dapat memenuhi kebutuhan listrik bagi seluruh
rakyat Indonesia secara layak. Demikian ini merupakan suatu hal yang dilematis bagi penyelenggaraan ketenagalistrikan di Indonesia
mengingat kedudukan PLN yang kuat secara
yuridis tersebut.
Untuk memenuhi kebutuhan listrik bagi masyarakat secara adil dan merata,
sebaiknya pemerintah juga membuka kesempatan
yang luas bagi penyedia listrik lain baik investor swasta maupun
internasional dalam persaingan usaha ketenagalistrikan. Akan
tetapi, Pemerintah harus tetap mengontrol dan memberikan batasan
bagi investor
tersebut, sehingga tidak
terjadi penyimpangan yang merugikan masyarakat.
Selain itu, Pemerintah
hendaknya dapat memperbaiki kinerja PLN saat ini, sehingga menjadi lebih
baik demi tercapainya kebutuhan dan kesejahteraan masyarakat banyak
40
sesuai amanat UUD 1945 Pasal
33.Putusan Mahkamah
Konstitusi (MK) No. 001-021-022/PUU-I/2003.
Undang-Undang Republik
Indonesia No. 5 Tahun 1999
tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak
Sehat. Undang-Undang Republik
Indonesia No. 20 Tahun
2002 tentang
Ketenagalistrikan.
KASUS CROSS OWNERSHIP DAN
PELANGGARAN PERSAINGAN USAHA YANG DILAKUKAN TEMASEK DALAM INDUSTRI SELULER DI
INDONESIA
I.LATAR
BELAKANG KASUS
Kasus kepemilikan silang
Temasek terhadap dua operator seluler di Indonesia mencuat pada tahun
2007. Kasus yang ditangani KPPU ini menyita perhatian publik secara luas dan
cukup berkepanjangan. Mungkin ini disebabkan karena reputasi temasek di duinia
internasional sebagai sebuah company besar. Debat akademis dikalangan praktisi
hukum dan ekonomi pun cukup hangat menyelimuti kasus ini. Pro-kontra, thesis
dan anti thesis yang cukup sehat turut menyuburkan khazanah teori dan tradisi
kajian akademis dan yang berbobot terutama pengayaan di bidang ekonomi
kelembagaan. Sebagaimana dipahami bahwa kepemilikan saham pada satu atau
beberapa
41
perusahaan
yang bisnisnya sejenis atau tidak lewat anak-anak perusahaan merupakan hal yang
lazim dan secara yuridis tidak terlarang dalam berbisnis, baik secara nasional
maupun multinasional. Yang dilarang adalah apabila kepemilikan saham pada suatu
perusahaan, baik secara langsung maupun lewat anak perusahaannya, menimbulkan
penguasaan pasar pada satu jenis barang atau jasa tertentu secara dominan
sebagaimana diatur di Pasal 27 UU No. 5/1999 tentang Larangan Praktik Monopoli
dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.1Bagi ekonom, suatu perusahaan
dikatakan berpangsa pasar dominan dan secara yuridis terlarang bila memiliki
pangsa pasar lebih dari 50 persen. Rasionalisasi di balik larangan itu karena
perusahaan dengan pangsa pasar lebih dari 50 persen memiliki market power
mendikte pasar dan cenderung mempraktikkan perilaku bisnis yang
antikompetisi dan persaingan usaha tidak sehat. Kecenderungan ini lazim
dipraktikkan di negara-negara yang belum menjunjung tinggi nilai-nilai
kompetisi sehat. Dalam kasus ini, KPPU telah mengeluarkan keputusannya di tahun
2007 melalui putusan perkara bernomer 07/KPPU-L/2007 yang mengharuskan
Temasek melepaskan sahamnya di Telkomsel atau Indosat. Keputusan ini merupakan
keputusan yang paling rasional dan acceptable baik secara ekonomi dan yuridis.
Keputusan itu merupakan wujud nyata sanksi administrasi KPPU atas Temasek untuk
menghentikan posisi dominannya (Pasal 25 UU No. 5/1999) yang tidak hanya dapat
menciptakan persaingan usaha sehat, tetapi juga berpotensi
mendorong terjadinya penurunan tarif
42
dan
peningkatan kualitas layanan. Kebijakan ini juga dapat mengatasi perilaku buruk
operator dan mengurangi kerugian masyarakat (konsumen). Sehubungan dengan hal
tersebut, keputusan KPPU yang mengharuskan Temasek melepaskan sahamnya di
Telkomsel atau Indosat dan menghukum Telkomsel menurunkan tarifnya sebesar 15
persen merupakan refleksi kebijakan intervensi pasar pemerintah yang secara
yuridis tidak melampaui kewenangan KPPU dan selaras dengan tujuan Pasal 2 UU
Nomor 5/1999. Keputusan itu tidak hanya berdampak menciptakan iklim usaha yang
kondusif dan persaingan usaha yang sehat antaroperator. Tetapi juga
memicu penurunan tarif dan peningkatan kualitas layanan dalam
bertelekomunikasi.
II.ANALISA
KASUS
Dalam menganalisa
kasus yang telah diputuskan oleh KPPU ini, kami memakai pendekatan Joskow
melalui Transaction Cost Economy.Kenapa pendekatan joskow yang dipakai untuk
menganalisa kasus ini? Sebagaimana kita ketahui, kasus Temasek ini terbilang
berjalan sampai cukup lama, karena adanya tuntutan atau lebih tepatnya
ancaman dari Temasek untuk melakukan gugatan balik kepada KPPU dan
memperkarakan. Ini semakin menguatkan hipotesa Joskow bahwa sebuah kebijakan
anti trust tidak ditujukan untuk “memperbaiki” ketidaksempurnaan dalam pasar 2.
Sebagai deterrence system,kebijakan antitrust perlu disosialisasikan dengan
baik, sehingga pasar dapat membuat batasan
43
perilaku dan
struktur pasar yang legal dan illegal. Menurut Joskow kemampuan pengadilan
untuk mengevaluasi analisa ekonomi yang kompleks sangat terbatas. Dalam kasus
temasek ini memang sangat kompleks permasalahan yang dihadapi. Maka
diperlukan tidak hanya pendekatan hukum semata tapi juga harus mencakup analisa
ekonomi industry secara lebih akurat. Jangan sampai kebijakan yang telah
dikeluarkan KPPU kontra produktif terhadap pasar dan konsumen seluler di
Indonesia. Karena seperti kita ketahui telkomsel dan Indosat adalah dua
pemimpin pasar seluler di negeri ini, yang setiap keputusan akan
berdampak pada proses bisnis di dalam internal mereka. Baiklah kita akan mulai
bagaimana rancang bangun Joskow dalam menganalisa sebuah kasus anti trust. Ada
beberapa tahapan yang dipakai Joskow dalam pendekatannya : 1Menentukan
apakah perusahaan tersangka memiliki pangsa pasar dominan. 2.Menentukan
apakah ada significant barriers to entry kedalam pasar terkait. 3.Jika
kondisi poin 1 (satu) dan 2(dua) terjadi maka disimpulkan ada market power atau
monopoly power. 4.Kemudian dilakukan test apakah ada perilaku
eksklusif (exclusionary behavior) yang membatasi persaingan. 5.Jika
perilaku eksklusif adalah predatory pricing maka kemudian diuji apakah perusahaan
dominan tersebut dapat mengambil keuntungan di masa depan dari menaikan harga
saat kompetisi tereduksi (recoupment test ).
44
A.Analisa
pangsa pasar
Langkah
pertama yang dilakukan sebagai analisa adalah menentukan posisi pasar kedua
operator seluler tersebut dalam struktur persaingan pasar seluler di Indonesia.
Sesuia data yang ada (KPPU 2007), PT Telkomsel merupakan pemimpin pasar seluler
di Indonesia dengan penguasaan pasar sampai dengan tahun 2006 sebesar
55,6% dan PT Indosat menguasai 26,18% 2Bahan
kuliah Ekonomi kelembagaan, MPKP FEUI, Yohana Gultom M.Phill.
pasar
seluler di Indonesia. Artinya tingkat penguasaan pasar dari dua operator
tersebut saja jika digabungkan sudah mencapai 80% lebih. Analisa tahap pertama
ini tidak selesai cukup sampai disitu, karena asumsi penggabungkan pangsa pasar
ini harus berdasar pada dugaan awal bahwa kepemilkan keduanya adalah pada pihak
yang sama. Maka ditelusurilah dari data-data kepemilikan didapatkan kenyataan
bahwa PT Indosat sahamnya dikuasai oleh STT Telemedia melalui ICL dan IC
sejumlah 38% dan 0,9%. Sedangkan Telkomsel sahamnya sebanyak 35% dikuasai oleh
SingTel. Kedua perusahaan tersebut STT Telemedai dan SingTel sahamnya dikuasai
100% oleh Temasek Holding Inc. Dalam konteks analisa tahap pertama maka
terbukti bahwa kedua operator tersebut menguasai pasar secara dominan.
Temasek Holdings Pte. Ltd (selanjutnya disebut Temasek) memiliki saham mayoritas
pada
dua
perusahaan yang melakukan kegiatan
45
usaha dalam
bidang yang sama pada pasar bersangkutan yang sama, sehingga melanggar pasal 27 huruf a UU No 5 Tahun 1999.3
B. Analisa
Hambatan Masuk Pasar
Tahap kedua analisa
adalah menguji apakah terjadi barriers entry dalam industry seluler di
Indonesia. Dugaan awal adalah PT. Telekomunikasi Selular (selanjutnya disebut
Telkomsel) mempertahankan tarif seluler yang tinggi, sehingga melanggar pasal
17 ayat(1) UU No 5 Tahun 1999. Telkomsel menyalahgunakan posisi dominannya
untuk membatasi pasar dan pengembangan teknologi sehingga melanggar pasal
25 ayat (1) huruf b UU No 5 Tahun 1999. Analisa dilakukan dengan menggunakan
model-model grafis pasar oligopoly dengan penerapan teori cournot dll. Untuk
menggambarkan kasus ini kita akan menggunakan salah satu model ekonomi dalam
teori oligopoly. Model Oligopoli Stackelberg menggambarkan perilaku pelaku
usaha menentukan nilai output yang diproduksi tidak dalam waktu yang bersamaan
namun berurutan. Dengan model ini, dapat digambarkan bahwa terdapat leader dan
terdapat follower; Pada model Cournot, perusahaan bereaksi secara pesimis atas
perubahan output pesaingnya. Dengan kata lain, ketika pesaing menurunkan
output, perusahaan akan menaikkan outputnya, namun lebih kecil dibandingkan
penurunan output pesaingnya. Begitu pula sebaliknya. Pada akhirnya, akan
tercipta Cournot equilibrium (titik A), yang besarnya lebih kecil
dibandingkan keseimbangan kompetitif (titik B)
dan lebih besar
dibandingkan
46
keseimbangan
kolusif (titik C); Bila perusahaan-perusahaan oligopoli bekerjasama, misalnya
dengan melakukan kartel, kesejahteraan konsumen akan menjadi rendah. Hal ini
dapat juga mengikuti logika Game Theory atau The Prisonners’ Dillema. Bila
perusahaan tidak kooperatif satu sama lain, maka keduanya akan beresiko
kehilangan konsumen secara signifikan bila kebijakan harga dan kuantitasnya
salah, sehingga jalan terbaik adalah berkompetisi. Namun, ketika perusahaan
bekerjasama/melakukan perjanjian dengan pesaingnya, maka perusahaan akan
dapat menaikkan harga secara bersamaan dan menaikkan keuntungannya
masing-masing dari total revenue yang meningkat. Dengan begini, maka collusive
oligopoly akan menjadikan harga keseimbangan lebih tinggi dengan kuantitas
produk yang lebih rendah dibandingkan non-cooperative oligopoly. Karena itu
collusive oligopoly akan berdampak besar pada menurunnya kesejahteraan
konsumen.Dari data yang ada didapti kenyataan bahwa Telkomsel selalu unggul
dalam penguasaan investasi BTS. Inilah factor yang bisa diduga sebagai
perilaku barriers entry dalam pasar seluler Indonesia. Telkomsel selalu
konsisten menjaga investasinya dalam pengembangan BTS-BTS baru sejak masa cross
ownership terjadi. Kenaikan cukup signifikan dalam penguasaan pangsa pasar
dialami oleh Telkomsel, sebaliknya bagi Indosat agak mengalami penurunan.
47
Hal ini
menunjukan bahwa agresivitas follower sulit mengejar first mover secara
langsung. Dibutuhkan waktu yang cukup lama untuk dapat menciptakan kondisi head
to head competition antara first mover dan follower
yang menjadi penentu kompetisi yang sehat.Perlunya investasi yang cukup besar
serta waktu yang lama untuk dapat menyaingi first mover, menjadi entry barier
yang cukup signifikan dalam industri seluler. Strategi pemerintah untuk
menciptakan persaingan dengan meminimalisir entry
barier dengan memberikan kemudahan izin bagi new entrant tidak akan
terlalu berarti. Karena new entrant tidak dapat mengejar first mover dalam
waktu terlalu lama. Banyaknya kompetitor dalam industri tersebut justru
tidak dapat diartikan adanya kompetisi. Karena faktor waktu menjadi sangat
krusial. Adanya jangka waktu lama upaya new entrant tersebut akan membuat first
mover memiliki posisi dominan dengan market power yang mudah digunakan
untuk mengakumulasi monopolis profit.
C.Analisa
Monopoly Power dan Eksclusionary Behaviour
Sehingga dari langkah
1(satu) dan 2 (dua) diatas bisa diambil kesimpulan sebagai langkah ketiga
yaitu telah terjadi monopoly power dalam pasar seluler di Indonesia. Namun
pertanyaan selanjutnya adalah apakah terjadi perilaku eksklusif dan kecenderungan
merugikan konsumen. Langkah keempat dalam
metodologi Joskow membuktikan bahwa dalam kasus ini Telkomsel berusaha
mempertahankan tarif seluler yang tinggi teruatama dalam biaya interkoneksi dan sms.Sehingga dengan penguasaan jaringan
48
dan pangsa pasar
yang dimilikinya mereka bisa semaunya mengatur tarif seluler di Indonesia yang
membuat para followers mau tidak mau berusaha mengikuti tarif tersebut. Hasil
akhir adalah kesejahteraan konsumen yang dirugikan.Tarif yang masih tinggi ini
jika kita merujuk pada data besaran tarif seluler dalam kurun waktu lima tahun
terakhir, tidak banyak penurunan yang dinikmati oleh konsumen telekomunikasi.
Kisaran tarif biaya sambungan antaroperator seluler masih berada di Rp
1.400-1.600 per menitnya. Hal ini sungguh sulit untuk dapat diterima akal
sehat. Seharusnya, dengan ketatnya persaingan usaha, para operator seluler
dapat menurunkan biaya tarif selama tidak melanggar aturan interkoneksi.
Apalagi daya tarik terbesar yang dimiliki operator seluler dalam pasar
telekomunikasi Indonesia adalah rendahnya tarif yang ditawarkan.Sulit untuk
diterima bahwa Temasek, sebagai induk perusahaan para pemegang saham
kedua operator dominan tersebut, tidak memanfaatkan penguasaan pasar Indosat
dan Telkomsel untuk mengeruk untung yang sebesar-besarnya. Ditambah lagi,
dengan adanya kondisi permintaan pasar yang tidak elastis atas layanan
telekomunikasi. Mau tidak mau, konsumen akan selalu membayar biaya yang
dibebankan operator, tidak ada sarana telekomunikasi (modern) alternatif yang
secara ekonomis dapat dimanfaatkan dan diakses oleh masyarakat secara meluas di
Indonesia pada saat ini.Bukan tidak mungkin kartel tarif yang diatur oleh
jaringan pemegang saham Indosat dan Telkomsel ini akan membentuk suatu jenis
monopoli baru. Sebuah monopoli yang
bersumber
49
bukan dari
penguasaan pasar oleh satu pelaku usaha, namun dari penguasaan saham pada
para pelaku usaha dominan dalam satu industri.
D.Recoupment
Test
Dalam uji ini terlihat bahwa
tingkat pengembalian modal atau return on equity (ROE) Telkomsel yang 35 persen
sahamnya dimiliki Singtel mencapai 55 persen. Ini membuat operator seluler
dengan jaringan terluas di Indonesia ini meraup laba bersih Rp 11,182 triliun.
Selain itu, kalkulasi KPPU atas kerugian yang diderita konsumen akibat
penerapan tarif mahal oleh Telkomsel, Indosat, dan Excelcomindo selama periode
2003-2007 mencapai Rp 14,7 triliun hingga Rp 30,8 triliun. Keputusan KPPU yang
turut menghukum Singapore Technologies Telemedia (STT), STT Communications, AMH
Company, Indonesia Communication, Singapore Telecommunication, dan Singapore
Telecom Mobile dengan alasan perusahaan-perusahaan itu berstruktur
kepemilikan silang juga tampaknya cukup beralasan. Secara praktik bisnis,
perusahaan-perusahaan itu berafiliasi dengan Temasek, baik langsung maupun
tidak langsung. Dengan demikian, secara yuridis mereka dapat dihukum secara
tanggung renteng. Demikian pula keberatan yang menyatakan tidak mungkin Temasek
(yang hanya menguasai 35 persen saham Telkomsel, sedang 65 persen sisanya
dimiliki Telkom) mengendalikan Telkomsel, secara praktis juga dipertanyakan.
Secara operasional kelaziman bisnis menunjukkan pengendalian suatu
perusahaan tidak bergantung pada besar kecilnya saham yang dimiliki, tetapi
50
ditentukan
kemahiran pemilik saham (Temasek) ‘menggiring’ pemilik saham (operator) lainnya
atas nama kepentingan bersama, seperti penguasan pangsa pasar dan
peningkatan laba. Hak Temasek mengangkat direksi dan komisaris di
Telkomsel maupun di Indosat di posisi strategis, secara praktis ekonomi
merupakan indikasi konkret kemampuan Temasek (melalui Singtel dan STT) mendikte
Telkomsel dan Indosat yang secara operasional mendominasi pangsa pasar seluler
nasional. Bukti dominasi ini terlihat dari pangsa pasar ponsel Telkomsel dan
Indosat yang menguasai 83,7 persen, sedang Excelcomindo hanya 13,5 persen.
Sisanya diperebutkan oleh Mobile-8, Sampoerna, HCPT, dan Natrindo.sa dibaca
dalam amar putusan KPPU Memang jika merujuk pendapat Prof.Hikmahanto
Juwana, sebagai saksi ahli yang diahdirkan dalam kasus ini menyatakan bahwa
asal 27 huruf adari UU Anti Monopoli harus dibaca berdasarkan Rule of
ReasonPasal 27 huruf a dari UU Anti Monopoli merupakan Bagian Posisi Dominan
dan dalam hal ini; Pasal 27 huruf a dari UU AntiMonopoli tersebut harus dibaca
secara bersama-sama dengan penyalahgunaan spesifik dari Posisi Dominan yang
dilarang oleh Pasal 25 dari UU Anti Monopoli. Pembacaan secara luas dari
Pasal27 huruf a dari UU Anti Monopoli, bahwa keberadaan suatu posisi dominan
semata-mata adalah melawan hukum akan membuat kerancuan pada Pasal 25 dari UU
Anti Monopoli karena Pasal 25dari UU Anti Monopoli hanya diterapkan jika Posisi
Dominan disalahgunakan.
51
III.KESIMPULAN
Berdasarkan analisa di atas,
maka dapat disimpulkan bahwa kepemilikan secara tidak langsung Temasek terhadap
Telkomsel dan Indosat selaku pelaku usaha dalam bidang telekomunikasi di
Indonesia mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau usaha persaingan
tidak sehat di industri telekomunikasi. Sehingga, sudah tepat KPPU melakukan
kajian atas tindakan Temasek tersebut khususnya hubungan STT dengan Temasek
yang menguasai 35% saham di PT Telkomsel. Salah satu kewenangan KPPU
sebagaimana diatur dalam Pasal 36 butir b dan l Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU No.
5/1999): ”KPPU berwenang melakukan penelitian tentang dugaan adanya kegiatan
usaha dan atau tindakan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya
praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat dan menjatuhkan sanksi
berupa tindakan administratif kepada pelaku usaha yang melanggar
undang-undang’. Opsi tindak lanjut KPPU sesuai Pasal 47 ayat 2 huruf e UU No.
5/1999 adalah penetapan pembatalan atas pengambilalihan saham Indosat
oleh Temasek. Selain itu, pelanggaran atas Pasal 28 juga diancam dengan pidana
denda dan pidana tambahan sebagaimana dalam Pasal 48 ayat 1 jo Pasal 49 UU No.
5/1999 pidana denda minimal Rp. 25 milyar dan maksimal Rp. 100 milyar atau
pidana kurungan pengganti denda maksimal 6 bulan dan pidana tambahan berupa
pencabutan izin usaha atau larangan untuk
52
menjadi
direktur atau komisaris minimal 2 tahun dan maksimal 5 tahun atau penghentian
kegiatan atau tindakan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian pada pihak
lain. Oleh karena itu, pengambilalihan saham yang dilakukan Temasek melalui STT
atas saham Indosat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat
melanggar UU No. 5/1999 sehingga harus dikenakan sanksi sebagaimana diatur
dalam undang-undang itu. UU No. 5/1999 memang dirancang untuk mengoreksi
tindakan dari pelaku ekonomi yang memiliki posisi yang dominan karena mereka
dapat menggunakan kekuatannya untuk berbagai macam kepentingan yang menguntungkan
pelaku usaha tersebut. Selain itu maksud dari diadakannya privatisasi adalah
untuk mendorong persaingan yang sehat bukannya untuk memonopoli usaha dibidang
telekomunikasi di Indonesia.
http://www.academia.edu/5191914/Analisa_Kasus_Cross_Ownership_dan_Pelanggaran_Persaingan_Usaha_Temasekdiakses pada tanggal 06 April 2015
pada pukul 08.46 wib.
BAB IV
KESIMPULAN
1)Monopoli
dalam bidang Hak atas Kekayaan Intelektual adalah Hak dari
Pemegang Hak atas Kekayaan
Intelektual untuk memberikan ijin atau
melarang penggunaan dari Hak atas Kekayaan
Intelektual sedangkan
Monopoli
dalam bidang Persaingan Usaha adalah penguasaan atas produksidan atau pemasaran
barang dan atau atas penggunaan jasa tertentu oleh suatupelaku usaha atau suatu
kelompok pelaku usaha dengan cara melawan hokum sehingga menimbulkan persaingan
usaha tidak sehat, dengan alasan ini Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang
Larangan Praktik Monopolidan Persaingan Usaha Tidak Sehat, memberikan
pengecualian pada perjanjianyang berkaitan dengan HKI.
2).Lisensi
atas kekayaan intelektual yang memuat ketentuan-ketentuan yang menimbulkan
persaingan usaha tidak sehatdapat dikenai ketentuan-ketentuan Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1999,serta sanksi-sanksi yang berlaku pada Undang-undang Nomor 5
Tahun 1999tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
53
DAFTAR
PUSTAKA
54
0 komentar:
Posting Komentar